"Kamu siapa?" tanyaku.
"Aku Ray," jawabnya tanpa senyum.
"Aku Dandi," sahutku senang karena mendapat teman.
Meski tak pernah senyum, sikapnya membuatku betah main berlama-lama. Apalagi jika aku sedang sendirian, Ray selalu siap menemaniku. Hanya saja, orang-orang di rumahku tak bisa melihat Ray. Mereka hanya tahu, aku sering bermonolog. Padahal aku asyik mengobrol dengan Ray. Di usia lima tahun baru kusadari, ternyata Ray bukan makhluk kasat mata.
Pernah beberapa kali ibu dan ayah membawaku ke psikiater karena khawatir dengan keasyikanku bermonolog saat sendirian. Bahkan sempat pula aku dirukyah agar terlepas dari gangguan makhluk halus. Nyatanya aku baik-baik saja dan persahabatanku dengan Ray semakin lekat.
"Pergilah, Ray. Mungkin sudah saatnya kita harus mengakhiri persahabatan ini. Kau carilah teman di duniamu. Aku akan melanjutkan hidup seperti orang pada umumnya," ujarku memecah kediaman yang tidak nyaman ini.
"Aku tak bisa jauh darimu, Dandi. Kamu perlu aku, sampai kapan pun," jawabnya sok berjasa.
"Aku ingin dewasa dengan caraku. Pergilah!"
Kuusahakan suaraku tidak disertai emosi. Aku ingin membujuk Ray agar dia menjauh dariku.
"Aku tak akan mengganggu perempuan itu lagi. Tapi jangan menolakku begitu. Apa kaulupa, tanpa aku, kamu selalu kesepian?" lanjutnya.
"Iya, sih. Tapi kita harus hidup dengan cara masing-masing. Ayolah, kamu punya duniamu, aku pun begitu."