"Ayolah, aku menunggu waktu seperti ini. Jujur, aku tetap Jalilmu yang dulu, Nita!"
Jalil meraih lenganku dengan kedua tangannya. Refleks aku menarik tanganku dan menjerit sekuatnya. Berharap Mak Nah yang biasa membantu pekerjaan dapur bisa mendengar teriakanku. Tubuhku bergetar hebat melihat tatapnya buas dengan napas terengah. Api membara di matanya. Geraknya cepat. Tetiba telapak tangannya membungkam mulutku. Aku meronta sekuatnya. Namun tenagaku tidak sebanding dengan kekuatannya. Lelaki jahanam itu menghimpit tubuhku setelah aku terjerembab di atas kasur karena dorongannya.
"Dengar, Nita! Aku tidak akan mencelakaimu. Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu."
Kukerahkan semua kemampuan yang kumiliki. Meronta dalam himpitan tubuh yang kekar. Di antara air mata keputusasaan, bayangan ayah berkelebat membuat nasihatnya kembali terngiang. Bahwa ke mana pun aku pergi jangan pernah menanggalkan benda kecil itu. Benda yang selalu kusimpan dengan tali di paha untuk digunakan dalam keadaan terdesak.
Dalam hitungan detik, himpitan Jalil berubah menjadi semakin longgar. Suaranya serup kambing sekarat. Dengan sisa-sisa tenaga, kudorong tubuhnya ke samping. Di lehernya tertancap kujang kecil pemberian ayahku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI