Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Pulang

19 November 2022   08:22 Diperbarui: 19 November 2022   08:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Teti Taryani, Guru SMKN 1 Tasikmalaya

Berulang kubaca lagi dan lagi. Pesan dari Ibu yang kelima kalinya ini menyiratkan permintaan yang bukan main-main. Bahkan kumaknai sebagai perintah yang tak bisa dibantah. Kuhela napas panjang dan kututup pesan itu tanpa kujawab segera.

Ibu pasti tahu, aku telah membaca pesannya. Aku tidak tahu apakah kini Ibu bisa mengerti mengapa aku tak mampu segera menjawabnya. Ada hal yang kupahami betul antara aku dengan Ibu yang membuat komunikasi tak bisa selancar air yang mengalir. Ada dinding yang cukup tinggi yang membuatku tak bisa saling sapa sebagaimana layaknya anak dengan ibu.

Kutahan bulir bening yang hampir luruh dari kelopak mataku. Tidak! Jangan sampai membasahi pipiku. Telah lama kuenyahkan tangis yang sering mengganggu tidur lelapku. Kulawan kemunculannya dengan tekad melupakan segala bentuk kepedihan. Aku ingin melupakan semuanya. Aku tidak ingin air mata meruntuhkan pertahanan yang telah kubangun dengan susah payah.

"Kenapa, Nit? Kok kayak sedih begitu?" Yani rupanya menaruh perhatian padaku.

Dialah sahabat yang mengetahui kisah hidupku yang sesungguhnya. Dia pula yang mengajakku bekerja di kantin milik Bu Dedah. Kantin yang cukup besar melayani karyawan pabrik tekstil ini. Kantin yang menjadi penopang hidupku setelah kuputuskan keluar dari rumah Ibu. Kuupayakan hidup mandiri karena memang aku telah cukup dewasa.

"Enggak papa. Cuma disuruh pulang aja. Kayak pesan kemarin itu," jawabku.

"Siapa tahu kamu betul-betul diperlukan, Nit. Pulanglah sebentar. Minggu depan kan ada tanggal merah berjejer. Kamu bisa manfaatkan itu."

Kulirik kalender yang terletak di dinding kantin. Ya, tanggal merah dua hari berturut-turut. Kepulanganku tentu tak bakal merepotkan Bu Dedah yang sangat bergantung pada tenaga kami. Apalagi pada saat jam-jam makan karyawan yang menuntut layanan cepat dan tepat.

Ingat pulang berarti ingat Ibu dan Jalil, suami baru ibuku. Mereka pasangan yang punya bakat berdagang. Ibu mengelola warung sembako, Jalil berjualan pakaian. Lelaki itu menjajakan pakaian dengan cara berpindah-pinda tempat, dari pasar ke pasar atau dari keramaian ke keramaian lainnya.

Setelah menikah, mereka membuka toko yang lebih besar dan hanya menjual sembako. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perkembangan usaha mereka. Hanya itulah kabar terakhir yang kuterima dua tahun lalu dari tetanggaku yang bertemu di kota ini.

Kalau bukan karena pesan kelima kalinya, sebenarnya aku malas untuk memenuhi keinginan ibu. Sepertinya kali ini Ibu benar-benar menginginkan aku segera pulang.

Kukuatkan hati untuk bertemu Ibu. Wanita tegar yang pandai mengelola usaha itu terbaring tak berdaya. Pipi montoknya berganti dengan wajah pucat dan pipi tirus. Mata indah miliknya hanya menyisakan pandang hampa.

"Ibu ... Ya Allah, Ibuu... apa yang terjadi, Bu?"

Kupeluk dan kuciumi wanita yang selama ini kuhalau dari ingatan. Melihat keadaannya, hilang sudah segala kebencian yang bersarang dalam hatiku.

Dengan suara pelan dan patah-patah, ibu menceritakan sakitnya.

"Kata dokter, ibu hh ... kena lambung. Habis obat dari dokter ... Jalil selalu ... memberi obat. Katanya obat lanjutan. Bukannya sembuh ... tiga bulan ini tubuh ibu hh ... semakin lemah seperti ini...."

"Ibuu ...." Suaraku hampir tak keluar. Sedih dan pilu menyaksikan ketidakberdayaannya.

"Ibu ... jadi punya ... hh ... pikiran jelek. Jalil selalu menolak ... kalau ibu minta ... hhh... dibawa ke dokter. Jangan-jangan hh... obatna enggak bener. Jangan-jangan ... Jalil kepengen ibu cepat mati ...."

"Maafkan hh ... ibu, Nita. Mengapa dulu hh ... hh ... tak kaubilang kalau Jalil itu ...."

Air mata ibu mengiringi kalimat yang diucapkannya dengan susah payah.

Ibu berhenti bicara. Napasnya berat seperti habis menapaki jalan menanjak sebagaimana jalan menuju Gunung Siharu yang dulu sering kulalui bersama Jalil. Aku semakin erat memeluknya dan membanjiri tubuh ringkihnya dengan air mata yang tidak mampu kubendung.

"Eh, ada orang kota. Gimana kabarnya?" suara Jalil kudengar dari balik punggungku. Aku mencium bau tubuhnya. Masih dengan aroma seperti dulu.

"Kenapa lama sekali baru pulang? Kalau kamu tak ingin ketemu ibumu, masa kamu nggak kangen sama aku?" bisik lelaki itu di balik telingaku.

Bajingan!

Aku hanya diam dan tak mengalihkan pandangan dari Ibu. Lelaki itu beranjak ke arah seberang tempat tidur. Posisinya kini justru tepat menghadap ke arahku. Semakin terasa kalau matanya tengah menelan tubuhku bulat-bulat. Kulihat sekilas seringainya bagai serigala lapar.

Entah mengapa perutku langsung mual. Ucapannya membakar bara kemarahan yang mengerak gegara kelakuannya. Lelaki yang menjadi racun dalam hidupku, yang memisahkan aku dengan ibu, makin tambah menyebalkan meski sudah mendapatkan keinginannya.

Dulu pernah kuterima Jalil sebagai calon imamku. Usia kami selisih sepuluh tahun. Sikapnya yang penuh pengertian membuatku merasa tenteram setiap kali berada di sampingnya. Empat bulan kami pernah menjalin hubungan dan menjadi sepasang kekasih yang dipenuhi angan-angan.

Saat kubawa ke hadapan ibu, entah bagaimana awalnya. Perhatian Jalil beralih pada Ibu. Kuakui, Ibu memang jauh lebih cantik daripada aku, putri semata wayangnya. Ibu sering memuji karena sikap dan kesantunan Jalil banyak kesamaan dengan almarhum ayahku. Ibu makin dekat dengan Jalil karena keduanya memiliki kesamaan juga, pandai berdagang. Bisnis sembako yang digeluti Ibu menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Cocok dengan Jalil yang punya usaha menjual pakaian jadi. Karena itulah, keduanya selalu antusias saat membahas masalah usaha dagang.

Celakanya, ibu benar-benar jatuh cinta pada Jalil. Bahkan gayung bersambut. Jalil merasa lebih cocok memilih Ibu daripada aku. Tanpa perlu bersusah payah, Jalil membuat ibu benar-benar merasa mendapatkan lelaki yang tepat sebagai pengganti ayahku.

Maka sejak itu, kusembunyikan perasaanku hingga keduanya resmi menjadi suami istri. Aku yang telah masuk dalam kubangan cintanya, hanya bisa diam menyaksikan kebahagiaan mereka. Kubuang diriku menjauhi pemandangan yang teramat menyiksa. Pergi menapaki luka hati tanpa arah dan sandaran.

Hanya dua hari aku sempat menunggui ibu. Tubuh lemahnya menyerah pada malakal maut. Tak bisa kukatakan betapa dalam kesedihanku ditinggal ibu. Ingin rasanya memutar waktu ke masa lalu, saat aku masih bebas merasai hangatnya pelukan ibu.

Di hari ketiga sepeninggal ibu, aku bersiap hendak kembali ke kota. Tetiba pagi itu Jalil menghalangi jalan keluar dari kamar. Kudorong tubuhnya dengan tas baju. Namun tangannya sempat memegang handle pintu, hingga mampu bertahan dan tetap berdiri.

"Ayolah, aku menunggu waktu seperti ini. Jujur, aku tetap Jalilmu yang dulu, Nita!"

Jalil meraih lenganku dengan kedua tangannya. Refleks aku menarik tanganku dan menjerit sekuatnya. Berharap Mak Nah yang biasa membantu pekerjaan dapur bisa mendengar teriakanku. Tubuhku bergetar hebat melihat tatapnya buas dengan napas terengah. Api membara di matanya. Geraknya cepat. Tetiba telapak tangannya membungkam mulutku. Aku meronta sekuatnya. Namun tenagaku tidak sebanding dengan kekuatannya. Lelaki jahanam itu menghimpit tubuhku setelah aku terjerembab di atas kasur karena dorongannya.

"Dengar, Nita! Aku tidak akan mencelakaimu. Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu."

Kukerahkan semua kemampuan yang kumiliki. Meronta dalam himpitan tubuh yang kekar. Di antara air mata keputusasaan, bayangan ayah berkelebat membuat nasihatnya kembali terngiang. Bahwa ke mana pun aku pergi jangan pernah menanggalkan benda kecil itu. Benda yang selalu kusimpan dengan tali di paha untuk digunakan dalam keadaan terdesak.

Dalam hitungan detik, himpitan Jalil berubah menjadi semakin longgar. Suaranya serup kambing sekarat. Dengan sisa-sisa tenaga, kudorong tubuhnya ke samping. Di lehernya tertancap kujang kecil pemberian ayahku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun