Kalau bukan karena pesan kelima kalinya, sebenarnya aku malas untuk memenuhi keinginan ibu. Sepertinya kali ini Ibu benar-benar menginginkan aku segera pulang.
Kukuatkan hati untuk bertemu Ibu. Wanita tegar yang pandai mengelola usaha itu terbaring tak berdaya. Pipi montoknya berganti dengan wajah pucat dan pipi tirus. Mata indah miliknya hanya menyisakan pandang hampa.
"Ibu ... Ya Allah, Ibuu... apa yang terjadi, Bu?"
Kupeluk dan kuciumi wanita yang selama ini kuhalau dari ingatan. Melihat keadaannya, hilang sudah segala kebencian yang bersarang dalam hatiku.
Dengan suara pelan dan patah-patah, ibu menceritakan sakitnya.
"Kata dokter, ibu hh ... kena lambung. Habis obat dari dokter ... Jalil selalu ... memberi obat. Katanya obat lanjutan. Bukannya sembuh ... tiga bulan ini tubuh ibu hh ... semakin lemah seperti ini...."
"Ibuu ...." Suaraku hampir tak keluar. Sedih dan pilu menyaksikan ketidakberdayaannya.
"Ibu ... jadi punya ... hh ... pikiran jelek. Jalil selalu menolak ... kalau ibu minta ... hhh... dibawa ke dokter. Jangan-jangan hh... obatna enggak bener. Jangan-jangan ... Jalil kepengen ibu cepat mati ...."
"Maafkan hh ... ibu, Nita. Mengapa dulu hh ... hh ... tak kaubilang kalau Jalil itu ...."
Air mata ibu mengiringi kalimat yang diucapkannya dengan susah payah.
Ibu berhenti bicara. Napasnya berat seperti habis menapaki jalan menanjak sebagaimana jalan menuju Gunung Siharu yang dulu sering kulalui bersama Jalil. Aku semakin erat memeluknya dan membanjiri tubuh ringkihnya dengan air mata yang tidak mampu kubendung.