Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Luruh Bersama Dedaun Kering

1 November 2022   10:48 Diperbarui: 1 November 2022   13:03 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Oleh Teti Taryani, Guru SMKN 1 Tasikmalaya

Kaget juga menerima hadiah dari orang yang merahasiakan diri. Sejak kado itu tersimpan di meja kerjanya, Bu Dina hanya memandangi saja tanpa berani membuka. Rekan kerjanya turut penasaran juga. Kado seukuran dus wadah sepatu itu dipegang bergiliran dan dibolak-balik. Tulisan yang tertera pada salah satu sisi dus tetap seperti itu. Teruntuk guruku tercinta: Bu Dina Handayani. Hanya itu. Tidak kurang, tidak lebih.

"Buka saja, Bu. Siapa tahu ada keterangan lain di dalamnya. Boleh 'kan ikut penasaran?" ujar Bu Heti sambil tertawa kecil.

Bu Dina menyertai tawa temannya. Apa guru-guru tahu kalau rasa penasaran Bu Dina jauh lebih besar dibandingkan dengan rasa penasaran mereka? Guru senior cantik itu hanya diam. Membuat temannya semakin penasaran.

Ini bukan hari ulang tahunku, bukan pula hari pernikahanku. Menurutku hanya dua hal itu yang menjadi hari istimewa dan layak dihadiahi. Kalaupun ada hadiah, tentulah berasal dari anggota keluarga. Bukan datang dari orang yang tidak diketahui identitasnya. Apalagi sekarang. Tidak mungkin ada kado pernikahan karena Mas Herdis, begitu panggilanku pada Herman Diswara, telah meninggalkanku begitu saja. Pergi dengan membawa benda-benda berharga milikku. Ulang tahunku juga sudah lewat. Jadi, ini kado dari siapa dan untuk apa? Suara di benak Bu Dina tak henti berceloteh.

Buka, jangan, buka, jangan. Lanjut suara yang bertalu-talu di dalam hatinya. Diputuskannya untuk membuka dus hadiah itu nanti selesai jam mengajar.

"Belum dibuka juga, Bu? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa datang kepadanya suatu pemberian tanpa ia memintanya atau menunjukkan keinginan untuk memperolehnya, lalu ia menolaknya, sesungguhnya ia menolak pemberian Allah subhanahu wa ta'ala," kata Pak Hamim, guru PAI, tetiba menyampaikan petuahnya.

"Bukan menolak, Pak. Hanya menunda karena belum yakin," jawabnya.

"Padahal sudah harus yakin lho, Bu. Nama Ibu jelas tertera di kado itu," imbuhnya.

"Ya, deh, Pak. Nanti saya buka kalau selesai ngelas."

Bu Dina segera beranjak untuk melanjutkan tugasnya di kelas lain. Sambil mengajar, sesekali dia membuka gawai untuk memeriksa pesan dan mengecek email kalau-kalau ada petunjuk yang lebih terang untuk menjelaskan asal muasal kado itu. Namun, hingga tuntas tugas mengajar hari ini, tidak satu pun diperoleh petunjuk.

Bu Dina memasuki ruang guru. Biasanya, saat jam pelajaran terakhir, ruang guru segera lengang karena para guru dengan cepat meninggalkan ruangan kembali ke rumah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Teman-temannya masih terpaku di meja kerja masing-masing. Semua tersenyum saat melihat kehadiran Bu Dina.

"Ayo, Mbak, dibuka sekarang. Jadi penasaran bener nih," kata Bu Salwa sahabat dekatnya.

"Baiklah. Mari kita buka."

Tangan Bu Dina meraih kado diiringi tatap penasaran dari teman-temannya. Sebuah surat beramplop biru terlihat begitu tebal tergeletak di dalam dus. Di bawah amplop, terlihat kotak plastik berukuran kecil dengan bahan tembus pandang. Semua mata tertuju pada perhiasan mas yang terdapat di dalamnya.

"Perhiasan, Mbak!" ujar Bu Salwa. "Bener-bener perhiasan!"

Bu Dina terkesiap. Dia kenal betul perhiasan miliknya yang digondol suaminya saat meninggalkan rumah, empat tahun lalu.

Dengan tangan gemetar, Bu Dina membuka sampul surat. Satu per satu guru beranjak dari tempat itu. Mereka menghargai Bu Dina kalau-kalau surat itu bersifat pribadi.

"Jangan pergi! Tolong temani saya."

Suara Bu Dina penuh dengan kekhawatiran. Dia menyodorkan surat pada sahabatnya, Bu Salwa.

"Tolong bacakan," pintanya.

"Maafkan kami, Bu. Pak Herman meninggalkan Ibu untuk menikahi saya. Beliau meninggal dunia pada hari Sabtu, 22 Oktober 2021 karena kecelakaan. Saya kembalikan semua perhiasan ini karena saya tahu ini milik Ibu. Maafkan kekurangajaran saya. Ibu telah mendidik dan memperlakukan saya sebagaimana putri kandung Ibu, tapi saya malah merampas cinta Bapak. Maafkan kami, Bu. Maafkan kami." (Mayra).

Bu Dina menatap nanar ke luar jendela. Kado istimewa telah membuka tanda tanya yang terpendam selama ini. Betapa beruntungnya gadis itu. Dia mendapat kasih sayang dari dirinya, juga beroleh cinta dari suaminya. Tapi hidup harus berlanjut. Semua lara telah usai bersama dedaun kering yang luruh tertiup angin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun