Bu Dina memasuki ruang guru. Biasanya, saat jam pelajaran terakhir, ruang guru segera lengang karena para guru dengan cepat meninggalkan ruangan kembali ke rumah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Teman-temannya masih terpaku di meja kerja masing-masing. Semua tersenyum saat melihat kehadiran Bu Dina.
"Ayo, Mbak, dibuka sekarang. Jadi penasaran bener nih," kata Bu Salwa sahabat dekatnya.
"Baiklah. Mari kita buka."
Tangan Bu Dina meraih kado diiringi tatap penasaran dari teman-temannya. Sebuah surat beramplop biru terlihat begitu tebal tergeletak di dalam dus. Di bawah amplop, terlihat kotak plastik berukuran kecil dengan bahan tembus pandang. Semua mata tertuju pada perhiasan mas yang terdapat di dalamnya.
"Perhiasan, Mbak!" ujar Bu Salwa. "Bener-bener perhiasan!"
Bu Dina terkesiap. Dia kenal betul perhiasan miliknya yang digondol suaminya saat meninggalkan rumah, empat tahun lalu.
Dengan tangan gemetar, Bu Dina membuka sampul surat. Satu per satu guru beranjak dari tempat itu. Mereka menghargai Bu Dina kalau-kalau surat itu bersifat pribadi.
"Jangan pergi! Tolong temani saya."
Suara Bu Dina penuh dengan kekhawatiran. Dia menyodorkan surat pada sahabatnya, Bu Salwa.
"Tolong bacakan," pintanya.
"Maafkan kami, Bu. Pak Herman meninggalkan Ibu untuk menikahi saya. Beliau meninggal dunia pada hari Sabtu, 22 Oktober 2021 karena kecelakaan. Saya kembalikan semua perhiasan ini karena saya tahu ini milik Ibu. Maafkan kekurangajaran saya. Ibu telah mendidik dan memperlakukan saya sebagaimana putri kandung Ibu, tapi saya malah merampas cinta Bapak. Maafkan kami, Bu. Maafkan kami." (Mayra).