"Kok di warung ini enggak ada mainan?" gumam anak kecil itu dengan nada kecewa.
"Iya, Dek, di sini mah jual keperluan dapur. Buat masak,"
Mas Warung menanggapi dengan ramah.
"Lha, ini ada sabun, ada sandal jepit. Memang itu buat dimasak?"
Kami tertawa mendengarnya.
Sepertinya hal itu terlihat sepele. Hanya kelucuan seorang anak. Padahal bisa jadi anak itu memiliki kemampuan berpikir kritis. Dia ingin membuktikan kalau perkataan Mas Warung tidak faktual dan tidak sinkron dengan bukti yang dia dapatkan.
Bukankah kita mendidik agar anak berkata jujur dan berbicara sesuai fakta? Karena itulah, saat anak menemukan ketidaksesuaian, pikiran kritisnya langsung berkontraksi. Bibit-bibit berkata jujur sesuai fakta sudah tertanam di dalam dirinya.
Lain hari, Kakang cucuku, pulang dari masjid sehabis salat isya. Kedatangannya kusambut dengan handuk karena gerimis membasahi tubuhnya.
"Nin, apa perempuan salatnya boleh nanti-nanti? Kalau habis azan, enggak usah langsung salat? Bisa nantiiii... salatnya malem-malem?"
"Ya enggak dong. Perempuan laki-laki sama saja, salatnya harus di awal waktu. Habis denger azan, langsung salat," jawabku.
"Kok Enin belum salat? Tadi Kakang ke masjid, Enin depan laptop. Sekarang Kakang pulang, Enin masih di laptop."