Saat sekolah lanjutan tingkat pertama di kecamatan mengadakan acara pelantikan Pramuka Penggalang, saya sudah membayangkan akan ada gunungan sampah setelahnya. Bukan berarti panitia tidak menyediakan tempat sampah, atau tidak ada himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya, melainkan lebih kepada kebiasaan anak dan masyarakat yang memang masih tidak peduli dengan kebersihan dan pengelolaan sampah.
Miris rasanya melihat anak sekolah beramai-ramai jajan, memakannya lalu dengan asalnya melemparkan sampah pembungkus jajanannya itu sembarangan.
Begitu juga tak kalah greget melihat orang tua meninggalkan sampah yang dimilikinya begitu saja di jalan dan persawahan tempat kemah diadakan, seolah sampah itu tidak akan membawa dampak buruk pada manusia, dan lingkungannya.
Padahal, sering kali dijelaskan khususnya kepada para pelajar, jika sampah akan membawa bencana jika kita tidak mengelolanya. Sebaliknya sampah akan bawa berkah jika disikapi dengan baik, bijak dan benar.
Sebelum pembukaan lahan untuk perkemahan, sawah kering akibat kemarau panjang yang kami survei terlihat bersih dari sampah plastik. Jelas, karena berada di wilayah persawahan yang masih pelosok, jarang dijangkau orang, kecuali petani yang berkepentingan. Makanya tidak ada sampah plastik yang terlihat satu pun di sana.
Para guru dan panitia perkemahan sepakat, mengumumkan kepada semua siswa, juga masyarakat setempat dan seluruh orang tua wali siswa (yang bakalan sering datang menengok) untuk bisa menjaga sampah, sehingga setelah acara perkemahan, lokasi harus bisa bersih seperti semula. Meski tidak bisa nol sampah plastik, paling tidak, sampah bisa dikondisikan, dipilah dan bisa diperuntukkan sesuai bahannya.
Tidak hanya teori. Pada saatnya perkemahan berlangsung selama tiga hari dua malam itu, setiap pembina Pramuka dan kakak pendamping diminta untuk terus mengingatkan diri sendiri dan para siswa untuk bisa menjaga sampah. Tidak membuang sampah sembarangan sekecil apa pun. Lebih baik mencicil mengambil sampah yang dibuang pihak tidak bertanggung jawab daripada nunggu sampah menumpuk. Selain kalau sudah banyak sampah akan ada rasa enggan untuk mengambilnya, juga tidak nyaman saja dilihatnya. Sekelas acara yang diselenggarakan instansi pendidikan masa kotor dengan sampah sehingga terlihat jorok karena membiarkannya?
Memang tidak mudah. Perlu perjuangan yang berkepanjangan untuk bisa membiasakan siswa, termasuk para orang tuanya dan guru-guru supaya bisa mempraktikkan dengan kesadaran sendiri bahwasanya menjaga lingkungan supaya bersih itu bisa dengan tidak sembarangan membuang sampah. Hal itu sangatlah sulit. Ya, mungkin karena belum terbiasa.
Jadi, sudah seharusnya digencarkan lagi gerakan menerapkan karakter baik kepada anak sejak dini, termasuk dalam hal membuang sampah pada tempatnya, serta memilah sampah sesuai dengan jenisnya. Bukankah akan bisa karena terbiasa?
Seperti kisah inspiratif yang dicontohkan oleh Amilia Agustin (27) asal Bandung Jawa Barat yang sejak kecil ia begitu peduli dengan kebersihan lingkungan dan karena dedikasinya itu Ami (nama panggilannya) mendapatkan julukan Si Ratu Sampah, sekaligus didaulat sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2010.
Andai setiap anak Indonesia sejak kecil dikenalkan dan dibiasakan peduli terhadap sampah, tidak menutup kemungkinan SDM Indonesia menjadi  generasi yang mendedikasikan dirinya untuk gerakan peduli lingkungan dan peduli terhadap sampah seperti Ami. Terbayang akan bagaimana bersih, tertata, dan bermanfaatnya sampah yang dihasilkan oleh kita itu nantinya...
Padahal saat itu sekitar tahun 2010, Ami yang masih berusia 14 tahun dan menyandang status siswa SMP 11 di Bandung, sudah menggeluti dunia sampah.
Kisah perjalanannya sebelum mendapat julukan ratu sampah sekolah cukup unik. Berawal ketika Ami tak sengaja melihat bapak renta makan tanpa cuci tangan. Letaknya tak jauh dari gerobak yang penuh dengan sampah.
Kejadian itu diceritakan Ami kepada Bu Nia, guru mata pelajaran biologinya sekaligus mentor di Ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Ibu Nia menyarankan Ami dan teman-temannya di ekstrakurikuler KIR mendatangi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang bergerak di bidang pengomposan dan pemilahan sampah. Hingga menginspirasi mereka untuk membuat tempat pemilahan sampah organik dan anorganik.
Ami bersama rekannya menaruh kardus di tiap kelas untuk mewadahi sampah organik dan non organik. Meski banyak nyinyiran, Ami tak putus asa. Malah muncul ide untuk mengampanyekan masalah itu saat Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Subdivisi baru di ekstrakurikuler KIR yang berkegiatan di bidang pengelolaan sampah di sekolah pun terbentuk dan dinamai 'Sekolah Bebas Sampah' atau Go to Zerowaste School.
Ami 'menyulap' sampah-sampah yang mereka kumpulkan menjadi barang yang bisa digunakan kembali.
Ami dan teman-temannya juga mengajak ibu-ibu untuk membuat tas dengan bahan dasar sampah bungkus kopi. Ami juga mengajak mereka untuk mengenalkan produk-produk daur ulang itu saat pembagian rapor dengan cara membuka stan.
Langkah Ami itu menggugah Ibu Nia untuk mendaftarkan mereka dalam kompetisi SATU Indonesia Awards 2010 di bidang lingkungan. Ami berhasil terpilih menjadi penerima Astra Satu Indonesia Award di bidang lingkungan, serta mencatatkan namanya sebagai peraih termuda penghargaan tersebut.
Karena kepeduliannya akan sampah dan lingkungan lahir dari hati, maka upaya Ami tidak cukup sampai mendapatkan penghargaan dari Astra Satu Indonesia Awards itu saja. Semangat Ami justru makin besar untuk merawat lingkungan, mengalahkan orang dewasa pada umumnya.
Saat melanjutkan sekolah di SMA Negeri 11 Bandung, Ami semakin aktif di berbagai kegiatan berbasis lingkungan dan pemberdayaan. Mulai Kelompok Ilmiah Remaja, Matematika Club, Komunitas Sahabat Kota, Balad Kuring, Kebunku, serta Archipelago.
Anak pertama di keluarganya kelahiran 20 April 1996 ini juga aktif mengampanyekan pengelolaan sampah kepada warga sekolah dan masyarakat di sekitarnya melalui proyek pengelolaan sampah yang terbagi dalam empat pembagian, yaitu pengelolaan sampah an-organic, pengelolaan sampah organic, pengelolaan sampah tetrapak, dan pengelolaan sampah kertas.
Begitu juga saat Ami melanjutkan belajar ke jenjang kuliah pada tahun 2014 hingga 2018 di Universitas Udayana, Bali. Program kepedulian terhadap lingkungan tetap dijalaninya dengan membentuk sebuah komunitas yang bernama "Udayana Green Community".
Ami berupaya menyosialisasikan dalam kegiatan belajar-mengajar terkait pentingnya lingkungan hidup di banjar serta beberapa SD dan SMP di Kota Denpasar, Bali.
Ami dan komunitasnya juga mengupayakan pemberdayaan masyarakat. Melakukan pelatihan kepada warga guna mengolah sampah secara terpadu di sejumlah desa sekaligus mengamalkan nilai Tri Hita Karana (ajaran agama Hindu) untuk menghormati Tuhan, manusia, dan alam.
Hal yang diimpikan Ami ingin berkarier dalam perusahaan pada bidang yang berhubungan dengan sosial masyarakat terkait tujuan dalam hidupnya guna membantu memberdayakan masyarakat luas akhirnya terwujud.
Pada tahun 2020, Ami resmi direkrut dan bekerja pada bidang Corporate Social Responsibility (CSR) di PT Pamapersada Nusantara yang dinaungi Astra Grup. CSR itu sendiri dapat diartikan sebagai bentuk tanggung jawab suatu perusahaan terhadap kebaikan di lingkungan sekitar.
Terbayang kalau semua anak Indonesia memiliki semangat yang tinggi seperti Ami akan kepeduliannya terhadap sampah dan lingkungan, negara kita pasti akan bersih, tertata dan lestari.
Jika satu orang Ami saja bisa meningkatkan juga berpotensi terjadi pada nilai SDM dalam aspek sanitasi lingkungan --melihat adanya gerakan yang diciptakan Ami, yang dapat memberi pemahaman lebih kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga kondisi lingkungan, bagaimana jika muncul ribuan Ami-Ami lainnya?
Karena itu yuk kita buat terobosan seperti Ami. Menciptakan sebuah gerakan yang lebih baik pada negeri ini. Tidak harus kegiatan yang wah atau memerlukan banyak modal, tapi cukup lakukan hal terkecil yang kita bisa saja. Seperti ajarkan anak kita sejak kecil untuk membuang sampah pada tempatnya, belajar mengenal jenis sampah hingga anak bisa memilah dan tanamkan rasa kepedulian sehingga ketika melihat sesamanya buang sampah sembarangan bisa langsung saling mengingatkan.
Kelola sampah dengan memulai dari sampah organik yang bisa diolah sendiri  jadi pupuk tanaman. Dengan upaya sederhana seperti itu, setidaknya kita dapat mengurangi jumlah timbunan sampah di sekitar.
Ajarkan anak terkait pengelolaan sampah sedini mungkin dari rumah, insyaallah peran lingkungan terdekat ini jadi salah satu faktor penting dalam mengoptimalkan karakter baik pada anak-anak.
Lingkungan sehat merupakan salah satu kunci dalam mencapai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, generasi muda sangat diharapkan dapat menjadi penggerak atau pelopor guna menumbuhkan rasa peduli lingkungan terhadap masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti anak didik yang sedang mengadakan perkemahan di Desa Pusakajaya Kecamatan Pasirkuda Kabupaten Cianjur ini, ketika kami begitu tegas menekankan upada mereka untuk tidak meninggalkan sampah di lokasi perkemahan, setelah acara selesai hasilnya memang cukup memuaskan. Tanah sawah kering yang digunakan ditinggalkan dalam keadaan bersih seperti semula.
Tudak hanya Ami, dan mereka anak-anak Pramuka Penggalang yang baru saja melakukan pelantikan, tapi semua orang yang melihatnya pasti senang dan puas.
Itu hanya satu lokasi saja. Jika diterapkan pada semua sekolah, semua kegiatan dan semua tingkatan, niscaya kebersihan dan pengelolaan sampah seperti yang digalakkan Amilia Agustin Si Ratu Sampah Sekolah akan berhasil dicapai. Semoga.
ReferensiÂ
https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/ratu-sampah-sekolah/
https://www.indonesiana.id/read/148886/ami-si-ratu-sampah-di-sekolah
https://www.idntimes.com/life/inspiration/amp/rizkilutfi/kisah-inspiratif-amilia-agustin-c1c2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H