Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Demonstrasi saat Pandemi, Yes or No?

2 Agustus 2020   22:02 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:57 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam satu keluarga, terdiri dari orang tua dan beberapa anak dengan berbagai kepentingan merasa keberatan ketika orang tua membuat aturan bahwa dalam rumah, diadakan piket kebersihan yang harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga.

Anak sulung, merasa sudah besar dan tahu segalanya, menolak dan mengajak adik-adiknya untuk bersama-sama menentang aturan yang dibuat ayah ibunya tersebut.

Anak kedua, merasa selalu kebagian memasak membantu ibunya di dapur, merasa senang dengan aturan piket itu, karena dengan tidak langsung tugas ia akan sedikit lebih ringan. Ia pun menyetujui aturan yang akan diterapkan.

Pertentangan dalam keluarga pun terjadi. Padahal orang tua mereka selalu terbuka, menerima masukan dan siap menerima kritikan, supaya aturan tugas piket yang dibuat itu tidak memberatkan seluruh anaknya. Melainkan bisa menjadikan keluarga mereka harmonis, seiring sejalan dan setiap anggota keluarga bisa melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

Namun entah bagaimana, anak sulung tetap dengan pendiriannya, menentang tugas piket dan menyibukkan diri dengan segala agenda kegiatannya. 

Yang dalam pandangannya sikapnya itu yang terbaik. Sementara anak kedua dan adiknya yang lain, santai saja. Apa yang diperintahkan orang tua tetap dijalankan. Sesuai dengan usia serta kemampuannya.

Ilustrasi tersebut, ibarat kondisi negara kita saat ini. Pemerintah selaku orang tua menerapkan undang-undang cipta kerja yang tujuannya memangkas aturan sebelumnya yang berbelit, dan atau mengganti aturan yang sudah tidak relevan dengan aturan sapu jagat yang lebih mengena dan cocok dengan berbagai macam perundangan. Namun masyarakat selaku anggota keluarga, ada yang menentang, ada pula yang santai saja.

Sejak beberapa hari lalu, lingkaran pertemanan saya yang terdiri dari kaum buruh sudah ramai membicarakan terkait aksi demonstrasi yang akan diselenggarakan. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang diam saja seolah tidak tahu menahu. Semua memiliki kapasitas masing-masing.

Beruntung (bagi saya) lingkungan buruh terdekat saya, lebih banyak yang menolak demonstrasi, sisanya acuh alias cuek bebek, seolah ada atau tidak ada demo, tidak ada pengaruhnya. Saya sendiri, jelas menolak untuk ikut aksi demo. Mungkin bisa baca tulisan saya sebelumnya, di sini.

Bukan tidak solidaritas, bukan tidak memperjuangkan hak buruh (sebagaimana dibilang teman-teman bagi buruh yang menolak ikut aksi) tapi dalam kondisi seperti sekarang, saya masih mengedepankan nalar dan pikiran. 

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, dimana kurva peningkatan covid-19 terus naik, apa bisa aksi demonstrasi dijalankan sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan? Adakah jaminan yang ikut demontrasi terhindar dari penularan virus corona? Tidak ada bukan?

Saya sangat menghargai teman-teman yang mengancam akan gelar aksi tolak Omnibus Law Senin besok, 3 Agustus 2020. Saya tahu dan baca informasi, kalau aksi unjuk rasa tersebut dilakukan karena kekecewaan teman-teman dengan adanya informasi bahwa Panita kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) Omnibus Law rancangan undang-undang Cipta Kerja akan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja secara diam-diam dan dadakan. Menurut teman-teman, sikap Panja Baleg Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terkesan melakukan rapat secara diam-diam dan dadakan itu dianggap telah melanggar undang-undang keterbukaan informasi yang menjadi hak publik.

Lah saya mikir, lalu kalau melakukan aksi demonstrasi, berkerumun, tanpa jaga jarak, bahkan (biasanya) aksi demonstrasi selalu melumpuhkan laju lalu lintas, bikin orang takut dan khawatir, apa itu tidak mengganggu hak publik?

Segala masalah pasti bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. Jika ada ketidaksetujuan, bisa diungkapkan dengan prosedur yang tepat, melalui jalur hukum misalnya, ajukan gugatan ke pengadilan, atau bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung, misalnya, bukan dengan jalan lintas lewat aksi demonstrasi yang (walaupun demonya tertib dan aman) tetap bikin masyakarat ketakutan. Apalagi saat pandemi seperti ini. Ini sih menurut saya pribadi loh ya...

Mengingat pemerintah juga tidak memihak salah satu saja. Seluruh warga negara tetap jadi tanggung jawab sepenuhnya. Bukankah dalam penggodokan rancangan undang-undang Cipta Kerja itu perwakilan buruh juga diikutsertakan?

Bahkan saya sempat baca informasi, Menaker Bu Ida Fauziah mengatakan kalau pembicaraan terkait rancangan undang-undang itu di dalamnya selain ada perwakilan buruh juga ada perwakilan pengusaha dan semuanya berjalan dengan baik. Jadi kurang bagaimana pemerintah memahami apa yang menjadi aspirasi dari  pekerja, buruh, dan pengusaha?

Menaker Ida Fauziyah sumber kompas.com
Menaker Ida Fauziyah sumber kompas.com

Wajar kalau ada pihak yang keberatan, lalu menolak. Tapi bikin aksi demonstrasi, itu semuanya hanya membuat proses keseluruhan menjadi tidak optimal. Padahal kalau berpikir jernih, jika ada yang tidak cocok, tidak disetujui, bisa kemukakan dalam dialog. Apa yang jadi aspirasi dari penolakan itu sampaikan dengan musyawarah dan mufakat, saya kira akan jauh lebih profesional.

Akhir kata demikian pemikiran saya yang hanya seorang buruh, tidak sekolah, tidak punya keahlian. Tentu beda dengan pemikiran pakar ekonomi, mantan Menteri Keuangan, Kepala BKPM periode 2012-2013 Bapak Chatib Basri. Dimana beliau justru menilai, Indonesia bisa menjaring seluruh potensi investasi jika pemerintah bisa menyelesaikan omnibus law yang saat ini masih berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lalu bagaimana pembangunan bangsa ini akan segera dimulai jika kita rakyatnya masih terus saja merecoki dengan aksi demonstrasi?

Mantan Menkeu Chatib Bisri sumber kompas.com
Mantan Menkeu Chatib Bisri sumber kompas.com


Orang sudah melesat dengan segala pembangunan dan kemajuannya, bangsa kita masih saja ngurusin nasi bungkus...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun