Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, dimana kurva peningkatan covid-19 terus naik, apa bisa aksi demonstrasi dijalankan sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan? Adakah jaminan yang ikut demontrasi terhindar dari penularan virus corona? Tidak ada bukan?
Saya sangat menghargai teman-teman yang mengancam akan gelar aksi tolak Omnibus Law Senin besok, 3 Agustus 2020. Saya tahu dan baca informasi, kalau aksi unjuk rasa tersebut dilakukan karena kekecewaan teman-teman dengan adanya informasi bahwa Panita kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) Omnibus Law rancangan undang-undang Cipta Kerja akan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja secara diam-diam dan dadakan. Menurut teman-teman, sikap Panja Baleg Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terkesan melakukan rapat secara diam-diam dan dadakan itu dianggap telah melanggar undang-undang keterbukaan informasi yang menjadi hak publik.
Lah saya mikir, lalu kalau melakukan aksi demonstrasi, berkerumun, tanpa jaga jarak, bahkan (biasanya) aksi demonstrasi selalu melumpuhkan laju lalu lintas, bikin orang takut dan khawatir, apa itu tidak mengganggu hak publik?
Segala masalah pasti bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. Jika ada ketidaksetujuan, bisa diungkapkan dengan prosedur yang tepat, melalui jalur hukum misalnya, ajukan gugatan ke pengadilan, atau bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung, misalnya, bukan dengan jalan lintas lewat aksi demonstrasi yang (walaupun demonya tertib dan aman) tetap bikin masyakarat ketakutan. Apalagi saat pandemi seperti ini. Ini sih menurut saya pribadi loh ya...
Mengingat pemerintah juga tidak memihak salah satu saja. Seluruh warga negara tetap jadi tanggung jawab sepenuhnya. Bukankah dalam penggodokan rancangan undang-undang Cipta Kerja itu perwakilan buruh juga diikutsertakan?
Bahkan saya sempat baca informasi, Menaker Bu Ida Fauziah mengatakan kalau pembicaraan terkait rancangan undang-undang itu di dalamnya selain ada perwakilan buruh juga ada perwakilan pengusaha dan semuanya berjalan dengan baik. Jadi kurang bagaimana pemerintah memahami apa yang menjadi aspirasi dari  pekerja, buruh, dan pengusaha?
Wajar kalau ada pihak yang keberatan, lalu menolak. Tapi bikin aksi demonstrasi, itu semuanya hanya membuat proses keseluruhan menjadi tidak optimal. Padahal kalau berpikir jernih, jika ada yang tidak cocok, tidak disetujui, bisa kemukakan dalam dialog. Apa yang jadi aspirasi dari penolakan itu sampaikan dengan musyawarah dan mufakat, saya kira akan jauh lebih profesional.
Akhir kata demikian pemikiran saya yang hanya seorang buruh, tidak sekolah, tidak punya keahlian. Tentu beda dengan pemikiran pakar ekonomi, mantan Menteri Keuangan, Kepala BKPM periode 2012-2013 Bapak Chatib Basri. Dimana beliau justru menilai, Indonesia bisa menjaring seluruh potensi investasi jika pemerintah bisa menyelesaikan omnibus law yang saat ini masih berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lalu bagaimana pembangunan bangsa ini akan segera dimulai jika kita rakyatnya masih terus saja merecoki dengan aksi demonstrasi?
Orang sudah melesat dengan segala pembangunan dan kemajuannya, bangsa kita masih saja ngurusin nasi bungkus...