Saya jadi ingat saat saya masih usia sekolah dasar, setiap ada orang hajat, atau perayaan lain yang cukup meriah, selalu mengadakan hiburan layar tancap.
Penontonnya selalu banyak bahkan dari berbagai penjuru wilayah pada berdatangan. Tidak mengapa pergi setelah isya dan pulang hampir menjelang adzan subuh.
Hiburan layar tancap saat itu favorit tua muda. Berselimut kain sarung mirip orang sedang giliran ronda itu adalah dress code terkenalnya.
Saat itu film yang sering diputar seperti film kolosal, film bergenre musik dangdut, dan beberapa film bertemakan perjuangan. Semua masih terekam baik dalam ingatan.
Bahkan untuk film Si Pitung jawara legenda dari Betawi, saya yang orang Sunda mengetahuinya ya dari film yang diputar di layar tancap itu.
Dari pengalaman itu bisa kita lihat betapa kuatnya pesan yang disampaikan sebuah film. Bisa melekat hingga penontonnya terus mengingat hingga puluhan tahun kemudian. Meski saat ini layar tancap sudah hampir punah, sulit untuk ditemukan.
Jika layar tancap bisa diterima masyarakat, kenapa bioskop tidak? Bukankah keduanya memiliki persamaan? Meski ada sisi buruknya, kenapa tidak diangkat saja sisi baiknya?
Penyampaian pesan melalui film itu tadi contohnya. Jika pesan baik disampaikan melalui film, pastinya anak muda tidak akan merasa digurui.
Syukur-syukur bisa menerima seperti halnya orang jaman dulu yang tetap mengingat (amanat atau pesan) film yang dilihat di layar tancap. Okelah mungkin film jaman sekarang beda dengan film jaman dahulu.
Nah bukankah justru peran pemerintah dan ketegasannya di sini yang diperlukan? Buat aturan atau sensor ketat sehingga produser bisa menghasilkan film yang tidak menyalahi adat istiadat, tata krama dan sopan santun adat budaya ketimuran bangsa kita.