Halal jadi sesuatu yang diwanti-wanti oleh Aki, Emak, orang tua dan guru ngaji kepada saya sejak saya bisa mengingat pepatah mereka sampai detik ini.
"Hal baik apa pun yang kamu lakukan kalau perutmu diisi dengan makanan yang tidak halal itu percuma karena tidak ada berkahnya." Demikian ucap mereka. Menekankaan kepada saya begitu pentingnya memakai kehalalan sebagai acuan dalam berbuat, bekerja dan bersosialisasi selama menjalani kehidupan sehari-hari.
Didikan sesepuh itu yang membuat saya berani mengambil keputusan di luar kemampuan. Orang menganggap saya tidak akan sanggup. Tapi saya keukeuh maksa karena menurut saya apapun bisa saya lakukan selama itu halal. Niat membawa saya tampil beda diantara orang pada umumnya. Demi sesuatu yang halal saya jadi berani mengambil pilihan sekaligus resikonya.
Lingkungan tempat saya tinggal yang cukup religius juga ikut mempengaruhi. Mungkin itu sebabnya kenapa sebagian besar Tenaga Kerja Wanita asal Cianjur lebih memilih berangkat ke Timur Tengah yang mayoritas negara Islam, daripada kerja ke Asia Pasifik yang kebalikannya mayoritas penduduknya non muslim.Â
Karena seperti Teh Euis tetangga saya bilang, kalau kerja ke Timur Tengah itu minimal makanan halal bisa dengan mudah akan didapat. Bonusnya malah bisa ibadah haji. Beda dengan kerja ke Asia Pasifik, dari penampungan saja sudah didoktrin kalau di rumah majikan tidak boleh sholat. Boro-boro ada jaminan makanan halal, pekerjaan sehari-hari justru memasak makanan non halal untuk majikan.
Tapi tidak demikian dengan saya. Kerja ke negara di Asia Pasifik justru seolah jadi sebuah tantangan. Karena saya pikir semua masih bisa dikomunikasikan. Toh majikan juga manusia. Beruntung, semua majikan memang non muslim tapi bisa menerima dan menghargai pekerjanya yang muslim dan tidak makan daging babi dan turunannya ini.
Majikan di Singapura penganut kristen taat. Mereka tahu banyak agama Islam karena di Singapura juga ada etnis Melayu yang beragama Islam. Ketika saya sampaikan tidak makan daging babi, mereka ngangguk-ngangguk. Bahkan Bo bo(nenek) punya banyak teman seperjuangan yang beragama Islam. Dari Bo bo saya banyak dibantu memberikan pemahaman kepada majikan terkait pekerjaan dan makanan non halal yang saya tidak makan.
Begitu juga saat bekerja di Hong Kong. Majikan meski penganut Budha namun mereka sudah berpikiran terbuka. Kebalikan dengan majikan di Singapura kalau di Hong Kong ini justru Ama (nenek) yang masih berpikiran kolot dan "memusuhi" saya karena menghindari daging babi. Menu yang menurutnya hidangan enak, bergizi dan mahal.
"Kamu kan kerja. Harus kuat. Makan lah daging ini. Makan sayur saja tidak cukup. Kerja kamu berat. Kalau tidak bisa kerja nanti kamu dipulangkan. Tahu tidak?" Demikian ucap Ama tidak ada bosannya jika tengah berkunjung ke rumah majikan menengok cucunya yang saya jaga.
Majikan memberitahukan Ama kalau saya vegetarian. Hanya itu yang bisa dilakukan majikan untuk membantu saya terhindar dari tekanan Ama yang terus mengkhawatirkan saya kerja tidak benar kalau makan hanya berlauk sayur. Saya pun berusaha membuktikan kalau makan tanpa daging (di depan Ama) dan ibadah lainnya seperti solat dan puasa, saya tetap bisa bekerja. Padahal tentu saja jika sedang libur saya pun bisa menyantap olahan daging yang bisa saya beli di Warung Indonesia yang sudah dinyatakan halal.
Setahun kemudian Ama tidak lagi memaksa saya makan daging babi. Tidak melarang saya sholat dan tidak khawatir saya akan mati karena puasa saat menjaga cucunya. Mungkin Ama sudah melihat kesungguhan saya dan selama itu saya memang berusaha tetap bekerja dengan baik.
Lain lagi dengan perlakuan majikan ketiga saya di Taiwan. Meski saya lihat mereka tidak memeluk agama manapun, kecuali sembahyang doa jika tengah berkunjung ke rumah orang tuanya, namun majikan yang berprofesi sebagai pramugara dan pramugari pesawat China Airlinesini sangat baik memperlakukan saya terkait makanan non halal.
Majikan saya sudah tahu terkait halal dan tidak. Katanya di pesawat juga ada aturan ketat terkait makanan non halal yang dilarang keras diberikan kepada Muslim. Tidak hanya berupa bentuk daging yang dilarang tapi juga termasuk alkohol, minyak masak, alat masak, dan apa yang harus dilakukan Muslim jika terpaksa harus bersentuhan dengan nya.
Tidak hanya di rumah atau ketika makan di luar, sampai saat resepsi pernikahan yang sangat mewah di hotel berbintang saja Sir dan Madam (panggilan saya kepada majikan) tidak malu atau segan selalu mewanti-wanti kepada pelayan yang menghidangkan makanan.
"Make sure, please! She doesn't eat pork. Thank you." Demikian selalu dipastikannya kepada orang lain supaya saya bisa terhindar dari makanan non halal.
Begitu juga dengan kedua anaknya yang saya jaga. Kalimat "no pork" sudah mereka hafal di luar kepala. Kedua balita itu sangat jeli jika ada orang lain atau keluarga besarnya mau menawari makanan yang mereka punya buat saya. Disini terlihat betapa majikan saya sangat bertanggung jawab dengan makanan saya. Jika sudah demikian apa lagi yang harus saya khawatirkan?
Halal untuk seluruh Umat
Islam sudah mendunia. Jika masih ada pihak yang belum bisa menerima terkait Islam dan penganutnya yang tidak mengkonsumsi makanan tidak halal, mungkin karena kurang informasi saja, sehingga terjadi salah faham. Bukankah di tempat lain juga ada yang tidak memakan daging sapi? Bagi yang tidak tahu mungkin sama akan bertanya kenapa, padahal daging sapi enak dan bergizi. Seperti itu pula pemikiran non muslim yang belum tahu benar kalau Muslim melarang keras makanan tidak halal.
Karena pada kenyataannya pernah ada makanan halal (dari Indonesia) tapi ternyata justru tidak halal (dilarang) di Taiwan. Masih ingat dengan pemberitaan mie instant buatan Indonesia yang sudah jelas kehalalannya, ternyata di Taiwan (negara yang notabene non muslim) sekitar tahun 2010 malah dilarang?
Yang dipermasalahkan bukan terbuat dari bahan halal non halal (seperti pork) tapi banyaknya takaran minyak/bumbu yang disertakan dalam kemasanmie tersebut.
Di Indonesia contohnya minyak dan bumbu 10 cc itu termasuk aman dikonsumsi, tapi ternyata di negara orang batas amannya maksimal 6 cc. Otomatis yang 10 cc dari Indonesia dilarang dikonsumsi di negara orang karena menurut mereka dapat membahayakan kesehatan konsumen. Karena itu dilarang.
Peredaran produk makanan yang tidak sesuai dengan aturan di negara mereka dilarang (dianggap ilegal) karena dinilai membahayakan jiwa konsumen. Meski di Indonesia produk tersebut halal dan aman-aman saja bahkan jadi kesukaan (mie sejuta umat).
Padahal kita pasti mikirnya kalau makanan yang sudah diberi label halal itu bukan hanya "no pork" tapi juga pasti sudah melalui proses produksi yang baik dan higienis. Tapi jika  ternyata diketahui mengandung bahan-bahan yang tidak aman dikonsumsi bagi ukuran batas aman negara orang, meski di Indonesia sudah diproduksi sesuai standar yang berlaku pun tetap saja dilarang beredar.
Hal seperti itu semoga bisa jadi cermin bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang saat ini mempunyai wewenang mengeluarkan label halal. Ketelitian BPJPH tidak hanya menjamin makanan "no pork" atau pemrosesannya sudah sesuai dengan syariah Islam tapi juga ketelitian kepada standar internasional untuk keamanan konsumennya. Bukan untuk penduduk Muslim saja, tapi juga kemaslahatan dan keamanan semua pemeluk agama sesuai dengan Undang undang Jaminan Produk Halal UURI Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
Sekedar saling mengingatkan saja, khususnya untuk muslim, meski produknya sudah memiliki sertifikat halal, tapi kalau mendapatkannya dengan cara nyolong, ngutil, atau hasil beli tapi uangnya dari hasil korupsi, tetap aja nilainya jadi haram alias tidak halal, bukan? Hehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H