Kedua, integrasi regional Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah dibuka dimana migrasi orang dari satu negara ke negara lain akan lebih mudah. Sayangnya, kebijakan MEA ini lebih condong mengedepankan kepentingan ekonomi dengan masih menempatkan buruh migran sebagai komoditas pembangunan dan bukan memandang mereka sebagai manusia yang hak-haknya dihormati dan dilindungi oleh pemerintah.
Karenanya pada peringatan May Day 2016 kemarin, saya bersama anak dan suami, juga teman-teman aktivis buruh migran lainnya yang tergabung dalam JBM yang berdiri sejak 2010 menyerukan tuntutan kepada para pengambil kebijakan untuk :
1. Mewujudkan kebijakan dan sistem perlindungan yang komprehensif bagi buruh migran melalui Revisi UU No. 39 Tahun 2004 dengan mengacu pada Konvensi Migran 90, CEDAW dan standar HAM lainnya.
2. Memberikan pelayanan pendataan yang terintegrasi dengan one single database sistem dan informasi mulai dari tingkat desa hingga ke negara tujuan  tanpa diskriminasi yang mudah diakses, cepat dan sesuai dengan semangat pembaharuan yang tercantum dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
3. Mewujudkan hak jaminan sosial bagi Buruh Migran tanpa diskriminasi.
4. Mereformasi kelembagaan buruh migran, jangan ada dualisme dan tumpang tindih melalui  layanan terpadu satu atap/pintu.
5. Memastikan penanganan kasus dan sistem bantuan hukum yang mudah diakses, responsif, cepat ditangani dan kejelasan waktu dalam penanganan kasus dan bantuan hukum.
6. Membenahi birokrasi dan koordinasi antar kementerian terkait dalam upaya membangun sistem kerja holistik bagi pekerja migran Indonesia.
7. Memberi sanksi yang tegas bagi para pelanggar peraturan, baik di dalam tubuh pemerintah maupun swasta.
8. Meratifikasi konvensi ILO 1819 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai dasar perlindungan bagi PRT.