Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malaikat Pembeli Baju Lebaran

28 Juni 2015   22:12 Diperbarui: 28 Juni 2015   22:12 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa mataku buram dan basah. Suara adzan isya kembali menjadi start perdebatan kecil antara aku dan anakku sejak puasa pertama hingga kini, sepertiga dari keseluruhannya.

"Ami gak mau sholat tarawih kalau belum punya baju baru. Malu sama teman-teman, Bu. Teman-teman Ami cerita mereka sudah dibelikan baju oleh ayah ibunya. Ami mana? baju baru Ami kapan belinya?"

Aku hanya bisa menggigit bibir. Ya Tuhan, anakku sudah besar. Dia sudah bisa menjawab ajakanku untuk melaksanakan sholat dengan bantahan yang beralasan. Lalu kebohongan apa lagi yang harus aku sampaikan kepadanya?

Sejujurnya aku juga tidak ingin terus-menerus membohonginya. Mengatakan besok akan membelikan baju baru untuknya. Besok, besok dan besok... dari beberapa hari setelah puasa, sampai kini hari yang ke sebelas, aku hanya bisa memberikan janji-janji, sementara aku sendiri tidak tahu pasti apakah aku mampu membelikan baju baru untuknya? Uang darimana?

"Ibu, mana baju baru buat Ami?"

Kali ini tetes demi tetes terasa hangat berjatuhan dari sudut mataku. Terus mengalir deras menghujani wajah Ami, buah hatiku yang malang. Maafkan ibumu, Nak. Ibu bukannya tidak berusaha, tapi mungkin belum ada rezeki saja sehingga sampai malam ini ibu belum juga ada bayangan darimana bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan jelang lebaran. Kalaupun usahaku ada hasilnya, tak lebih dari cukup hanya untuk membeli beras dan sedikit lauk untuk menyemangatinya supaya rajin berpuasa.

 

***

 

Hujan baru beberapa hari tidak turun, namun panas dan keringnya seperti sudah berminggu-minggu saja. Daun-daun berguguran memenuhi pekarangan. Dengan malas malasan aku meraih sapu lidi dan perlahan mengumpulkan sampah itu di sudut jalan. Biar nanti jelang magrib aku bakar, sekalian menghalau nyamuk yang selalu masuk ke bilik kamarku.

Meski tangan memegangi sapu, namun hati dan pikiranku masih tertuju kepada omongan Ami semalam. Ya Tuhan, beri aku jalan-Mu supaya dipermudah dalam menghadapi masalah ini. Sesungguhnya aku dan keluargaku ini tidaklah miskin-miskin amat. Sepulangnya dari rantau aku memiliki tabungan walau tidak besar. Uang di luar yang dipinjam teman-teman pun lumayan besar ada beberapa kali gajiku bekerja di negeri rantau. Pun saat keluargaku membutuhkan biaya untuk berbagai keperluan, aku dengan bangga bisa membantu semampunya.

Kini, saat anakku menginginkan satu setel pakaian baru saja kok rasanya seret amat? Bukankah aku masih mampu bekerja? Bukankah aku bisa mengusahakannya? Kenapa aku tidak coba menagih uang milikku sendiri kepada mereka yang meminjam dengan iming-iming janji manis walau nyatanya setelah berhasil aku pinjami kata-katanya tak semanis janjinya itu.

"Teh, Teteh... ada paketan," suara seseorang membuyarkan lamunanku.

"Maaf teh, saya panggil-panggil dari tadi. Ini ada paketan." Ucap kurir jasa pengiriman yang sudah cukup kenal kembali menjelaskan. Aku yang masih gelagapan mencoba tersenyum. Menyimpan sapu lidi dalam genggaman dan mendekatinya.

"Paketan dari mana?" aku heran, biasanya kalau ada yang mengirim sesuatu sebelumnya aku sudah diberitahukan lewat pesan pendek.

"Ini disini, Teh," ujar kurir malah menyodorkan alat tulis dan menunjukkan dimana aku harus membubuhkan tanda-tangan. Bukannya menjawab rasa penasaranku.

Setelah kurir itu pamit pergi, aku buru-buru membaca alamat pengirimnya. Sebuah nama perempuan, dari kabupaten yang masih satu provinsi denganku. Nomor ponselnya pun tertera. Segera aku masuk rumah dan membuka paketannya.

Satu setel pakaian anak ditambah sepasang sepatu. Satu bungkus bumbu kari instan dan satu bungkus makanan ringan khas Jepang. Apa tidak salah kirim? Pikirku. Tapi alamatnya memang tertulis untukku.

"Teteh, semua itu tidak salah kirim. Aku dititipi Mba Siti dari Taiwan untuk menyampaikan semuanya. Tadinya aku mau datang langsung ke Cianjur, tapi orangtuaku melarang. Akhirnya aku paketkan saja semuanya. Maaf ya aku tidak memberikan kabar lebih dulu. Mba Siti bilang sengaja biar jadi kejutan..."

Akhirnya semua terjawab sudah.

Kembali bulir-bulir bening dari sudut mata mengalir jernih. Tidak kusangka masih ada sahabat jelmaan dari malaikat yang tanpa aku kira sedikitpun sudah menolongku melewati kebingungan ini. Aku bahagia dan bersyukur, mungkin nanti malam anakku bisa dengan riang ikut sholat tarawih. (ol)

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun