Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Konsekuensi Musim Hujan, Jagung dan Hantunya

17 Januari 2012   10:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Jangung ada hantunya? Seperti apa?

Menjelang tahun baru, hujan sudah sering mengguyur. Bahkan beberapa wilayah dengan dataran cukup rendah sudah terkena dampaknya berupa air sungai atau selokan yang meluap: banjir! Tak terkecuali di Sukanagara, kampungku, hujan terus-terusan mengguyur. Bahkan seringkali seharian tak henti-hentinya hujan turun sampai jemuran tak kering hingga berhari-hari.

Beruntung Sukanagara termasuk wilayah dataran tinggi. Perkebunan teh mana sih yang lokasinya ada di dataran rendah, ya? Hehehe... Karena itu, insya Allah wilayah Sukanagara tak terkena dampak musim hujan berupa banjir, kecuali...

Musim jagung!

Ya, musim hujan kali ini membuat udara di Sukanagara yang telah dingin (hari biasa berkisar antara 22- 27' C) menjadi lebih dingin lagi. Bayangkan saja kondisinya seperti di Puncak-Bogor, percis, tak jauh beda. Pagi hari saat hujan rintik-rintik turun saya tengok termometer di dinding kamar menunjukkan angka 17'C. Subhanallah, serasa seperti saat musim dingin di Taiwan saja!

Saat kondisi tubuh kedinginan, yang terbayang enaknya kita menyeruput minuman yang panas-panas, atau cemilan yang hangat-hangat. Iya kan? Saat jagung rebus terbayang dan masuk dalam daftar cemilan yang diburu, bersyukur keluargaku yang pulang dari Subang membawa 2 ton jagung yang baru dipetik dari pohonnya.

Subhanalloh, 2 ton? Iya, 2 ton karena jagung itu memang untuk dijual lagi, hehehe. Mumpung masih jarang, katanya. Belum banyak saingan penjual jagung lokal, makanya kesempatan musim penghujan ini diambil saudaraku untuk menjual jagung.

Maka satu rumah saudara di sebelah rumahku menjadi ramai. Hiruk-pikuk terdengar tak melihat waktu. Pagi, siang dan malam selalu ramai oleh mereka yang datang membeli jagung. Meski saudaraku berkeliling menjajakan jagung ke tempat-tempat ramai seperti Terminal Sukanagara, Pasar Sukanagara dan Lapangan Tarumanagara yang kebetulan ada keramaian setelah diadakannya Pameran Pembangunan se-Kabupaten Cianjur, namun pembeli banyak juga yang datang ke rumah dengan tujuan mendapat jagung yang masih panas, baru diangkat dari drum tempat merebus.

Jagung matang yang telah direbus dijual sesuai dengan ukurannya. Yang kecil berharga seribu rupiah, yang sedang Rp. 2.500 dua buah atau yang berukuran besar satunya seharga Rp. 2.000. Ibu-ibu sekitar ada juga yang membeli jagung mentahannya. Saudaraku menjual jagung mentah perkilonya Rp. 3.000.

Alhamdulillah, berkah untuk saudaraku, saat musim hujan bisa mengambil kesempatan baik dengan menjadi penjual jagung yang pertama di Sukanagara. Karena cukup laku, saat persediaan jagung dari Subang tersendat, saudaraku berani mengambil jagung dari kota lain, Sukabumi. Sudah beberapa kali aku melihat saudaraku mendapat kiriman jagung berkarung-karung. Senang melihat saudara berhasil dalam menjalankan usaha kecil-kecilannya.

Tapi yang sangat aku sayangkan, ialah dia yang pasti muncul: yaitu hantu jagungnya itu! Apalagi kalau bukan sampah jagung yang menumpuk berkarung-karung di pekarangan rumah? Saudaraku sejak awal tahu, kalau membeli jagung yang baru dipetik dari pohon akan membawa hantu (baca: sampah) dan di Sukanagara, seperti yang saya ketahui belum ada tempat pembuangan sampah umum.

Saudaraku sengaja menumpuk dulu hantu jagung itu sebelum dimasukkan ke dalam karung. Niatnya, nanti setelah jagung habis terjual, karungnya akan diisi hantu jagung alias sampahnya dan dibawa untuk dibuang ke Cilaku (Kecamatan di wilayah Cianjur Utara/Kota). Di Pasir Sembung memang ada tempat pembuangan sampah. Tapi apa daya, sebelum hantu itu benar-benar bisa dibuang, pemandangan tidak sedap sudah menghampar di depan mata.

Saat mendapat kiriman jagung dari bandar/makelar yang fresh baru dipetik dari pohonnya, tentu saja jagung masih kotor dan perlu dibersihkan. Ada beberapa bagian yang harus dikupas, dipotong dan dibuang supaya jagung rebus maupun bakar nantinya bersih dan menarik. Nah, potongannya itu yang kini menumpuk di pekarangan, layu setelah beberapa hari tertimpa air hujan. Sebagian berceceran kemana-mana. Di jajan-jalan, di tanah lapang, hamparan bodogol maupun daun jagung menjadi sampah yang sering ditemukan.

Ini baru satu orang penjual jagung impor dari luar kota, bagaimana jika nanti penjual jagung lokal (jagung hasil panenan warga Sukanagara) telah ikut menjadi penjual jagung, tak terbayangkan segimana menumpuk dan banyaknya hantu jagung alias sampah jagung yang dihasilkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun