Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengharap NT Tidak Terduga (Majikan Juga Manusia?)

25 Mei 2011   19:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:14 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika aku bisa bertanya dan pasti dijawab sempurna, akan kutanyakan benarkah keadilan itu ada? Banyak tanda tanya yang menjalar namun hanya bisa dijawab dengan bungkam.

Apakah tanda kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya itu dengan memberikannya pelajaran yang jauh diluar nalar mereka? Lalu aku harus bagaimana saat ditanya jalan keluarnya?

-----------------------------------------------

"Berapa? Seratus ribu NT?" ulangku takut salah dengar, tak percaya dibarengi kekagetan yang luar biasa. Selimut yang masih menggulung kaki sampai terlempar ke lantai. Pagi-pagi kalau sudah ngomongin duit mata yang merem lengket pun langsung melek. Ngantuk yang teramat betah juga langsung pindah entah kemana.

"Iya. Alhamdulillah, Li." Jawab Banyu dari seberang jelas terdengar gembira. Andai percakapan itu face to face bukan di telepon, aku yakin dapat melihat sorot mata Banyu yang memancar penuh rasa bahagia.

Siapa yang tidak bahagia mendapat uang sebesar NT 100.000 secara cuma-cuma? Uang sekitar Rp. 29,5 juta itu (kurs 295) bukanlah jumlah uang sedikit (dimata kaum buruh tentunya, bukan dimata mereka yang biasa nilep milyaran bahkan triliun masuk kantong pribadi) Uang Rp. 29,5 juta itu sebanding dengan 4 sampai 5 bulan gaji pekerja di Taiwan untuk upah minimum Tenaga Kerja Asing (TKA). Sementara pagi tadi Banyu bercerita padaku, dia dengan cuma-cuma mendapatkan uang sebesar itu dari nenek yang dirawatnya. Ya cuma-cuma dari nenek, tanpa embel-embel lain. Uang yang didapat itu (baik jumlah kecil maupun besar) pasti akan ditafsirkan lain jika yang memberi Sien Seng/先生 (Tuan/majikan laki-laki). Iya kan? Tentu saja tidak semua majikan laki-laki demikian, tapi jika majikan laki-laki yang memberi uang (apalagi dalam jumlah banyak) pertanyaan (atau curiga) apakah itu murni upah kerja atau imbalan dari sebuah ajakan diluarnya pasti ada saja. Entahlah...

Yang pasti kerja di Taiwan itu pada umumnya berat, lho. Dari pagi hingga malam jiwa dan raga dikuras habis-habisan (makanya beruntung yang mendapatkan pekerjaan santai) dan semua itu dihargai sekitar NT 512 (sekitar Rp. 150 ribu) per hari. Maka jika Banyu mendapat uang Rp. 29,5 juta pada sekian detik saja, apa bukan ketiban durian runtuh, namanya?

"Dah gitu aja ya, Li. Aku mau kerja dulu. Maaf dah bangunin kamu, aku cuma senang aja dan pengen cerita itu ke kamu. Aku tutup ya? Bye... Assalamualaikum."

Aku hanya bisa melongo setelah Banyu mengakhiri percakapan dan menjawab salamnya, tadi pagi.
Enak banget Banyu, batinku. Menjelang kepulangannya ke Indonesia, Banyu diberi uang oleh nenek (ibu majikannya) sebesar seratus ribu NT.

Majikan (dan nenek) Banyu memang baik, dan majikan seperti itu sulit dicari. Alhamdulillah, Banyu beruntung mendapatkannya. Majikan yang berperangai seperti majikan Banyu itu aku yakin satu diantara seribu pun belum tentu ada.

Dan malam ini, entah kenapa ada titik air mata yang merembes sebelum akhirnya aku menuliskan hal yang menjadi ganjalan di hati ini. Belum sirna rasa bahagia yang dibagi Banyu tadi subuh dalam hatiku, jam sembilan pagi-nya aku mendapatkan pesan di inbox situs jejaring sosial. Sebut saja namanya Dian, dia mengirimiku pesan minta tolong diberi petunjuk bagaimana jalan keluarnya menghadapi majikan yang sekongkol dengan ejen (broker) menahan uang gajinya.

Seperti biasa, sedapatnya aku memberikan informasi terperinci dan sedikit pemahaman tentang aturan ketenaga-kerjaan di Taiwan. Aku hubungi Dian dan cerita banyak tentang kondisi pekerjaan serta majikannya.

Ya Tuhan, tercekat tenggorokan ini mendengarkan semua penuturan Dian. Hal itu yang membuat aku memiliki perasaan sejenis cemburu (atau iri?) jika aku menjadi Dian dan mengetahui kebahagiaan Banyu yang berseberangan dengan apa yang dialaminya.

Buatku, sekian tahun berinteraksi dengan sekian banyak WNI di Taiwan (khususnya yang memegang visa worker) baru kali ini aku menemukan dua tipe majikan yang berpunggungan. Yang satu baik dalam arti memberikan apresiasi pada pekerjanya saat si pekerja habis masa kerja dan harus keluar dari Taiwan, yang satu lagi majikan pelit, medit ih pokoknya amit-amit, begitu menirukan ucapan Dian.

Banyu adalah teman yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami selalu berbagi kisah suka maupun duka. Saling membantu dan memberi jika ada yang membutuhkan. Aku dan Banyu sudah sama-sama tahu bagaimana jalan kehidupan kami masing-masing, baik sewaktu di tanah air maupun saat merantau di negeri orang.

Aku bersyukur saat diberitahukannya jika pekerjaan Banyu tidak berat, sementara satu telingaku lainnya mendengar keluhan Dian yang nasibnya bertolak belakang. Dian hampir keteteran setiap harinya dibebani pekerjaan diluar kemampuan dia.

Aku gembira Banyu bisa keluar dan libur kapan saja. Jauh dengan keadaan teman-teman lain khusunya yang dialami Dian yang justru terkurung, tidak boleh menyapa apalagi ngobrol dengan sesama pekerja asing. Karenanya jangan membayangkan pekerja yang bernasib demikian bisa memiliki ponsel, berkomunikasi intens dengan orang-orang tercinta, apalagi mengetahui informasi-informasi terkini. (Dian bisa menghubungi aku karena dia sembunyi-sembunyi dibantu teman dipinjami Hp)

Kurang apa lagi manakala gaji Banyu selalu dibayar lebih (diluar gaji lembur) plus hong pao setiap tahunnya tidak kurang dari gaji satu bulan kerja banyaknya, sementara di hari yang sama aku mendapatkan curhat Dian yang kesusahan mendapatkan gaji kerjanya tiap bulan. Bukan hanya masalah gaji yang dipegang majikan atau ejen, tapi juga permasalahan menghadapi majikan yang teramat pelit. Uang gaji seret, makan minum sepet, padahal kerja harus super cepet.

Membandingkan dua kondisi yang bertolak belakang itu, dalam kondisi pikiran labil dan emosi tidak terkendali rasanya tidak berlebihan jika ada selenting perasaan nakal, merasa Tuhan kok tidak adil? Kenapa satu temanku bisa tertawa bahagia sementara teman lainnya berduka dan dirundung susah?

Seperti biasa aku hanya diam, menggigit bibir, atau menarik nafas sambil membayangkan jika aku jadi mereka, teman yang curhat dan memvonis (saking iri dan cemburunya) Tuhan tidak adil itu. Bagaimana aku melampiaskan rasa iri dan benci...?

Aku pikir ini perlu. Aku perlu bisa merasakan bagaimana perasaan mereka yang tiba-tiba saja muncul dalam hatinya perasaan dibeda-bedakan, dianaktirikan, dan disengsarakan. Maka kubiarkan hatiku yang sedang berempati terhadap mereka kaum tertindas (oleh majikan dan atau ajen) curhat sepuasnya. Ku tampung semua keluh dan kesahnya sebelum aku sedikit memberikan kalimat penenang.

Tuhan benar-benar tidak adil katanya? Kenapa sampai ada teman yang bisa memvonis demikian?

Cerita yang ku tampung pun mengalir dari penuturan Dian: pertama kali datang bekerja di Taiwan, jobnya menjaga seorang nenek yang masih sehat dan ternyata si nenek tidak menyukai keberadaan si pekerja. Alih-alih bisa bekerja merawat nenek, dia malah dibenci dan diusir-usirnya. Anak-anak si nenek termasuk yang menjadi majikannya tak dapat menolong. Ejen juga tak peduli dengan pengaduannya. Dengan alasan nenek tak perlu dijaga, dengan semena-mena Dian dipekerjakan di rumah anak-anaknya yang berjumlah 4 rumah. Belum puas, hari minggu Dian dipekerjakan pula di salon majikan. Masih belum cukup, satu minggu dua kali Dian disuruh bekerja di rumah teman majikan. Nasibnya sudah seperti robot (atau bola pingpong?) saja. Tak ayal lagi Dian sering terkapar manakala waktu memasak tiba. Sudah lelah lahir batin, masih harus memasak untuk makan malam anak cucu nenek (adik, kakak dan keponakan majikan) yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang setiap harinya.

Dian hanya bisa menangis dan berdoa setiap rasa sedih dan marah timbul dalam dada. Dia pernah diajak kabur oleh teman yang kasihan dengan beban berat pekerjaannya. Tapi Dian tahu kabur itu ilegal dan ilegal itu melanggar hukum. Dian tak mau bekerja mengumpulkan uang untuk makan ibu dan adik-adikku di kampung dari jalan yang tidak dibenarkan hukum. Temannya yang mengajak kabur dan mendengar alasan lugu itu tertawa sinis menyikapi alasan penolakan itu.

"Ini Taiwan. Di sini tidak solat, dilarang puasa. Apa bedanya? Orang Taiwan semena-mena pada kita, kalau bukan kita sendiri yang berontak dan berusaha, kehidupan kita tak akan berubah."

Mungkin benar apa yang dikatakan temannya --padaku-- itu, tapi teman yang lain, ternyata juga mengusahakan perbaikan untuknya. Salah satu teman Dian yang meminjaminya hp itu meminta data lengkap Dian dan dengan gigihnya membantu melaporkan keadaan pekerjaannya yang di luar job itu kepada KDEI. Tidak secepat yang diharapkan, tapi tak lelah terus-terusan mengeluarkan uangnya untuk membeli pulsa mendesak Pak Ervan (Staff KDEI), memohon supaya kasus Dian bisa diurus dan bisa ganti majikan. Dian sendiri hanya bisa menunggu keajaiban Pak Ervan mau mengurus masalahnya. Hampir putus asa bersama saking tidak kuatnya menanti. Akhirnya Pak Ervan menelepon ejen Dian. Langsung ejen datang menanyai Dian. Dian pun membeberkan semua yang menjadi masalahnya itu tanpa sedikitpun yang disembunyikan. Eeh, ejen malah menyuruhnya pulang! Tentu saja Dian enggan. Dian dan temannya pun langsung melepon Pak Ervan mengatakan tidak ingin pulang, potongan gaji saja belum selesai. Pak Ervan memarahi ejen karena Dian sekalian bilang sejak datang ejen tak pernah menggubris laporan Dian.

Akhirnya, Agustus 2007 Dian bisa ganti majikan. Dian pindah kerja menjaga bayi dan anak umur 3 tahun. Ini lebih ringan. Tahun 2009 dia pulang dan kembali kerja ke majikan yang semula. Tahun 2010 semuanya mulai berubah. Anak yang dia jaga masuk sekolah tapi orang tua majikan dari Keelung yang lumpuh dan sakit-sakitan pindah ke dekat rumah majikan, sengaja supaya bisa Dian rawat. Dian menurut, toh pikirnya majikan selama ini baik. Tapi akhirnya urusan kakek lumpuh itu sepenuhnya diserahkannya padanya. Termasuk juga tugas mengurus rumahnya. Pekerjaannya bertambah. Ama --istrinya kakek yang lumpuh-- masih sehat, tapi tak bisa merawat kakek dan cerewetnya membuat Dian makan hati. Tak dikira, kakek itu meninggal dan Dian berkesempatan mengganti majikan.

Di majikan baru, pekerjaan Dian tidak banyak beda, merawat kakek lumpuh total dan cucunya yang sekolah SD. Sayangnya, majikan tidak perhatian pada kondisi Dian. Uang gaji tidak diberikan, makanan kurang (diirit) perlakuan pihak keluarga besar najikan juga tidak baik. Dian bertahan karena merasa pada awalnya majikan baik padanya. Selain itu, waktu kerjanya di Taiwan hingga finish kontrack hanya tinggal sebentar lagi. Kalau ia nekat berontak, belum tentu dapat kesempatan bekerja lagi. Cucu kakek juga sudah sangat dekat dengannya. Yang dia tidak tahan ialah saat merawat kakek, selain harus balik badan kakek setiap dua jam sekali (lelahnya tidak terkira dalam kondisi kurang tidur, ditambah tenaga tetap terforsir sepenuhnya) dan Dian juga harus menepuk pundak kakek paling tidak lima belas menit lamanya sebelum melakukan sedot dahak.

Dia kurang tidur, tapi pekerjaan juga tak ada hentinya. Antara merawat kakek, mengurusi keperluan anak yang masih TK dan SD dan mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus di dua rumah. Dian kewalahan tapi dia tetap diam, tak mengadu pada ejen atau KDEI mengingat waktu yang tinggal sedikit (pengalaman melapor ke KDEI menghabiskan waktu lama, itupun harus terus-terusan didesak). Lama-lama kesehatan Dian sendiri tak terkontrol. Tangannya sakit, tidak kuat membawa barang berat. Kepalanya sering sakit karena kurang tidur dan waktu tidurnya tidak tetap. Tenaganya diforsir bekerja dua rumah dengan pekerjaan yang tiada hentinya.

Dian masih bersabar, Dian pikir, setelah pekerjaannya bertambah sebanyak itu, terlebih Ama juga memperkerjakannya lebih pada waktu Imlek, mereka akan memberi Dian ang pao lebih sebagai tanda terimakasih kalau tidak ingin disebut imbalan. Tapi dugaannya itu meleset! Mereka hanya memberiku ang pao dua ratus NT (sekitar Rp. 59 ribu) untuk semua kesakitan dan kelelahan itu...!!

Dian menangis meratapi nasibnya dalam telepon kepadaku, pagi tadi sekitar jam setengah sepuluh. Aku tak bisa pula menahan butiran air mata. Mungkin jika Dian tidak diberi ang pao sama sekali dia malah tak sesakit itu, pikirku. Pemberian sebesar 200 NT, rasanya malah terasa bagai penghinaan (atau pelecehan?) untuk Dian. Padahal, Dian sudah membayangkan akan membeli kebutuhan. Karena uang ang pao tidak cukup, maka Dian memberanikan diri meminta uang gajinya.

Bukannya diberi, Dian malah dicaci maki. Menurut pandangan Dian, intinya majikan tidak memberikan uang gajinya karena takut Dian kabur jika sudah memegang uang.

Malam ini, aku merenung, terlintas tanya kenapa nasib Dian berbeda dengan Banyu? Kenapa majikannya pelit sementara majikan Banyu baik? Padahal pekerjaan Banyu ringan, hanya merawat rumah karena nenek yang menjadi jobnya justru ada di panti jompo. Setiap Imlek, Banyu mendapat angpau besarnya tak kurang dari satu bulan gaji. Dan aku masih ingat saat Banyu pulang ke Indonesia ketika kontrak pertama habis, majikan memberinya bonus sebesar enam puluh ribu NT. Sekarang, Banyu diberi seratus ribu NT!

Ya Tuhan, kenapa nasib Banyu begitu baik sementara nasib Dian sebaliknya? Majikan Dian itu jangankan memberi uang lebih, uang gaji lebih satu NT saja dicari. Tak jarang justru Dian yang mengembalikan koin lima NT.

"Yang empat NT Sien seng bawa saja," katanya ikhlas. Coba, dia yang jadi pekerja mengembalikan NT 4 sementara majikan yang jadi laopan menagih-nagih kembalian NT 1. Bagaimana kalau puluhan ribu NT seperti majikan Banyu?

"Sabar, Dian. Yakin nanti akan ada hal terbaik buat kamu." Itu kataku pada Dian, sore tadi membesarkan hatinya. Ya, kusarankan dia memilih sabar dan bersyukur saja. Kalau bukan miliknya kenapa juga harus meradang? Enam bulan lagi juga pulang menyusul Banyu, walau mungkin tidak ada uang bonus dari majikan, tapi uang gaji akan diserahkan. Untuk sampai waktunya itu aku yakin Dian tetap akan bersabar.

Syukur, kutekankan pula tetap harus Dian panjatkan meski keadaannya tidak lebih baik dari Banyu. "Di atas langit masih ada langit, begitu pula jika kita melihat ke bawah, masih banyak yang lebih sengsara dan menderita dari apa yang menimpa kita. Bersyukur Dian masih mendapat uang hong pao walau cuma NT 200, sementara banyak yang lain malah tidak mendapatkan sama sekali. Bersyukur pula atas diberikan kesehatan, kekuatan, dan keteguhan hati untuk tidak melanggar aturan ketenagakerjaan meski perlakuan majikan tidak sesuai dengan harapan. Lihatlah korban penindasan majikan terhadap pekerja di negara Timur Tengah yang selalu diberitakan, selalu dikabarkan memilukan."

"Bersyukur Dian di sini selamat dan sebatas mendapatkan perlakuan kurang baik yang bisa ditolerir. Dibanding mereka, nasib kita lebih baik..... Sabar dan selalu bersyukur ya, Dian. Tetap menghormati majikan dan berlaku sopan kepadanya, karena bagaimanapun majikan kita juga manusia. Dia juga berhati dan berasa. Andai kita jadi majikan, kita sendiri juga belum tentu bisa memerankan diri menjadi majikan yang dipanutkan oleh pekerja kita."

Masih banyak kalimat yang ingin kusampaikan kepada Dian, tapi sayang dia harus masak dan aku segera mengakhiri perbincangan.

Dipertiga waktu malam ini aku memohon, semoga hati majikan Dian dilembutkan, semoga rezeki Dian didatangkan pula dari jalan lain yang tidak terduga....
Semoga.

Nei Hu Distc. 03.55 AM/WT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun