Seperti biasa, sedapatnya aku memberikan informasi terperinci dan sedikit pemahaman tentang aturan ketenaga-kerjaan di Taiwan. Aku hubungi Dian dan cerita banyak tentang kondisi pekerjaan serta majikannya.
Ya Tuhan, tercekat tenggorokan ini mendengarkan semua penuturan Dian. Hal itu yang membuat aku memiliki perasaan sejenis cemburu (atau iri?) jika aku menjadi Dian dan mengetahui kebahagiaan Banyu yang berseberangan dengan apa yang dialaminya.
Buatku, sekian tahun berinteraksi dengan sekian banyak WNI di Taiwan (khususnya yang memegang visa worker) baru kali ini aku menemukan dua tipe majikan yang berpunggungan. Yang satu baik dalam arti memberikan apresiasi pada pekerjanya saat si pekerja habis masa kerja dan harus keluar dari Taiwan, yang satu lagi majikan pelit, medit ih pokoknya amit-amit, begitu menirukan ucapan Dian.
Banyu adalah teman yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami selalu berbagi kisah suka maupun duka. Saling membantu dan memberi jika ada yang membutuhkan. Aku dan Banyu sudah sama-sama tahu bagaimana jalan kehidupan kami masing-masing, baik sewaktu di tanah air maupun saat merantau di negeri orang.
Aku bersyukur saat diberitahukannya jika pekerjaan Banyu tidak berat, sementara satu telingaku lainnya mendengar keluhan Dian yang nasibnya bertolak belakang. Dian hampir keteteran setiap harinya dibebani pekerjaan diluar kemampuan dia.
Aku gembira Banyu bisa keluar dan libur kapan saja. Jauh dengan keadaan teman-teman lain khusunya yang dialami Dian yang justru terkurung, tidak boleh menyapa apalagi ngobrol dengan sesama pekerja asing. Karenanya jangan membayangkan pekerja yang bernasib demikian bisa memiliki ponsel, berkomunikasi intens dengan orang-orang tercinta, apalagi mengetahui informasi-informasi terkini. (Dian bisa menghubungi aku karena dia sembunyi-sembunyi dibantu teman dipinjami Hp)
Kurang apa lagi manakala gaji Banyu selalu dibayar lebih (diluar gaji lembur) plus hong pao setiap tahunnya tidak kurang dari gaji satu bulan kerja banyaknya, sementara di hari yang sama aku mendapatkan curhat Dian yang kesusahan mendapatkan gaji kerjanya tiap bulan. Bukan hanya masalah gaji yang dipegang majikan atau ejen, tapi juga permasalahan menghadapi majikan yang teramat pelit. Uang gaji seret, makan minum sepet, padahal kerja harus super cepet.
Membandingkan dua kondisi yang bertolak belakang itu, dalam kondisi pikiran labil dan emosi tidak terkendali rasanya tidak berlebihan jika ada selenting perasaan nakal, merasa Tuhan kok tidak adil? Kenapa satu temanku bisa tertawa bahagia sementara teman lainnya berduka dan dirundung susah?
Seperti biasa aku hanya diam, menggigit bibir, atau menarik nafas sambil membayangkan jika aku jadi mereka, teman yang curhat dan memvonis (saking iri dan cemburunya) Tuhan tidak adil itu. Bagaimana aku melampiaskan rasa iri dan benci...?
Aku pikir ini perlu. Aku perlu bisa merasakan bagaimana perasaan mereka yang tiba-tiba saja muncul dalam hatinya perasaan dibeda-bedakan, dianaktirikan, dan disengsarakan. Maka kubiarkan hatiku yang sedang berempati terhadap mereka kaum tertindas (oleh majikan dan atau ajen) curhat sepuasnya. Ku tampung semua keluh dan kesahnya sebelum aku sedikit memberikan kalimat penenang.
Tuhan benar-benar tidak adil katanya? Kenapa sampai ada teman yang bisa memvonis demikian?