Cerita yang ku tampung pun mengalir dari penuturan Dian: pertama kali datang bekerja di Taiwan, jobnya menjaga seorang nenek yang masih sehat dan ternyata si nenek tidak menyukai keberadaan si pekerja. Alih-alih bisa bekerja merawat nenek, dia malah dibenci dan diusir-usirnya. Anak-anak si nenek termasuk yang menjadi majikannya tak dapat menolong. Ejen juga tak peduli dengan pengaduannya. Dengan alasan nenek tak perlu dijaga, dengan semena-mena Dian dipekerjakan di rumah anak-anaknya yang berjumlah 4 rumah. Belum puas, hari minggu Dian dipekerjakan pula di salon majikan. Masih belum cukup, satu minggu dua kali Dian disuruh bekerja di rumah teman majikan. Nasibnya sudah seperti robot (atau bola pingpong?) saja. Tak ayal lagi Dian sering terkapar manakala waktu memasak tiba. Sudah lelah lahir batin, masih harus memasak untuk makan malam anak cucu nenek (adik, kakak dan keponakan majikan) yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang setiap harinya.
Dian hanya bisa menangis dan berdoa setiap rasa sedih dan marah timbul dalam dada. Dia pernah diajak kabur oleh teman yang kasihan dengan beban berat pekerjaannya. Tapi Dian tahu kabur itu ilegal dan ilegal itu melanggar hukum. Dian tak mau bekerja mengumpulkan uang untuk makan ibu dan adik-adikku di kampung dari jalan yang tidak dibenarkan hukum. Temannya yang mengajak kabur dan mendengar alasan lugu itu tertawa sinis menyikapi alasan penolakan itu.
"Ini Taiwan. Di sini tidak solat, dilarang puasa. Apa bedanya? Orang Taiwan semena-mena pada kita, kalau bukan kita sendiri yang berontak dan berusaha, kehidupan kita tak akan berubah."
Mungkin benar apa yang dikatakan temannya --padaku-- itu, tapi teman yang lain, ternyata juga mengusahakan perbaikan untuknya. Salah satu teman Dian yang meminjaminya hp itu meminta data lengkap Dian dan dengan gigihnya membantu melaporkan keadaan pekerjaannya yang di luar job itu kepada KDEI. Tidak secepat yang diharapkan, tapi tak lelah terus-terusan mengeluarkan uangnya untuk membeli pulsa mendesak Pak Ervan (Staff KDEI), memohon supaya kasus Dian bisa diurus dan bisa ganti majikan. Dian sendiri hanya bisa menunggu keajaiban Pak Ervan mau mengurus masalahnya. Hampir putus asa bersama saking tidak kuatnya menanti. Akhirnya Pak Ervan menelepon ejen Dian. Langsung ejen datang menanyai Dian. Dian pun membeberkan semua yang menjadi masalahnya itu tanpa sedikitpun yang disembunyikan. Eeh, ejen malah menyuruhnya pulang! Tentu saja Dian enggan. Dian dan temannya pun langsung melepon Pak Ervan mengatakan tidak ingin pulang, potongan gaji saja belum selesai. Pak Ervan memarahi ejen karena Dian sekalian bilang sejak datang ejen tak pernah menggubris laporan Dian.
Akhirnya, Agustus 2007 Dian bisa ganti majikan. Dian pindah kerja menjaga bayi dan anak umur 3 tahun. Ini lebih ringan. Tahun 2009 dia pulang dan kembali kerja ke majikan yang semula. Tahun 2010 semuanya mulai berubah. Anak yang dia jaga masuk sekolah tapi orang tua majikan dari Keelung yang lumpuh dan sakit-sakitan pindah ke dekat rumah majikan, sengaja supaya bisa Dian rawat. Dian menurut, toh pikirnya majikan selama ini baik. Tapi akhirnya urusan kakek lumpuh itu sepenuhnya diserahkannya padanya. Termasuk juga tugas mengurus rumahnya. Pekerjaannya bertambah. Ama --istrinya kakek yang lumpuh-- masih sehat, tapi tak bisa merawat kakek dan cerewetnya membuat Dian makan hati. Tak dikira, kakek itu meninggal dan Dian berkesempatan mengganti majikan.
Di majikan baru, pekerjaan Dian tidak banyak beda, merawat kakek lumpuh total dan cucunya yang sekolah SD. Sayangnya, majikan tidak perhatian pada kondisi Dian. Uang gaji tidak diberikan, makanan kurang (diirit) perlakuan pihak keluarga besar najikan juga tidak baik. Dian bertahan karena merasa pada awalnya majikan baik padanya. Selain itu, waktu kerjanya di Taiwan hingga finish kontrack hanya tinggal sebentar lagi. Kalau ia nekat berontak, belum tentu dapat kesempatan bekerja lagi. Cucu kakek juga sudah sangat dekat dengannya. Yang dia tidak tahan ialah saat merawat kakek, selain harus balik badan kakek setiap dua jam sekali (lelahnya tidak terkira dalam kondisi kurang tidur, ditambah tenaga tetap terforsir sepenuhnya) dan Dian juga harus menepuk pundak kakek paling tidak lima belas menit lamanya sebelum melakukan sedot dahak.
Dia kurang tidur, tapi pekerjaan juga tak ada hentinya. Antara merawat kakek, mengurusi keperluan anak yang masih TK dan SD dan mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus di dua rumah. Dian kewalahan tapi dia tetap diam, tak mengadu pada ejen atau KDEI mengingat waktu yang tinggal sedikit (pengalaman melapor ke KDEI menghabiskan waktu lama, itupun harus terus-terusan didesak). Lama-lama kesehatan Dian sendiri tak terkontrol. Tangannya sakit, tidak kuat membawa barang berat. Kepalanya sering sakit karena kurang tidur dan waktu tidurnya tidak tetap. Tenaganya diforsir bekerja dua rumah dengan pekerjaan yang tiada hentinya.
Dian masih bersabar, Dian pikir, setelah pekerjaannya bertambah sebanyak itu, terlebih Ama juga memperkerjakannya lebih pada waktu Imlek, mereka akan memberi Dian ang pao lebih sebagai tanda terimakasih kalau tidak ingin disebut imbalan. Tapi dugaannya itu meleset! Mereka hanya memberiku ang pao dua ratus NT (sekitar Rp. 59 ribu) untuk semua kesakitan dan kelelahan itu...!!
Dian menangis meratapi nasibnya dalam telepon kepadaku, pagi tadi sekitar jam setengah sepuluh. Aku tak bisa pula menahan butiran air mata. Mungkin jika Dian tidak diberi ang pao sama sekali dia malah tak sesakit itu, pikirku. Pemberian sebesar 200 NT, rasanya malah terasa bagai penghinaan (atau pelecehan?) untuk Dian. Padahal, Dian sudah membayangkan akan membeli kebutuhan. Karena uang ang pao tidak cukup, maka Dian memberanikan diri meminta uang gajinya.
Bukannya diberi, Dian malah dicaci maki. Menurut pandangan Dian, intinya majikan tidak memberikan uang gajinya karena takut Dian kabur jika sudah memegang uang.
Malam ini, aku merenung, terlintas tanya kenapa nasib Dian berbeda dengan Banyu? Kenapa majikannya pelit sementara majikan Banyu baik? Padahal pekerjaan Banyu ringan, hanya merawat rumah karena nenek yang menjadi jobnya justru ada di panti jompo. Setiap Imlek, Banyu mendapat angpau besarnya tak kurang dari satu bulan gaji. Dan aku masih ingat saat Banyu pulang ke Indonesia ketika kontrak pertama habis, majikan memberinya bonus sebesar enam puluh ribu NT. Sekarang, Banyu diberi seratus ribu NT!