Mohon tunggu...
Cika Tesazabalia
Cika Tesazabalia Mohon Tunggu... Guru - Panggil saja cika

Masih belajar, banyak kurangnya. Dibaca ya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Wasiat Kakek

7 Mei 2021   22:02 Diperbarui: 7 Mei 2021   22:03 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: aplikasi canva

Aku Salma, umurku 23 tahun. Beberapa tahun lalu aku tinggal di pesantren karena ada pesan wasiat kakek yang disampaikan ayah yang isinya begini "Salma, jika kamu mau menolong kakek, tinggalah di pesantren. Jadilah bagian yang bisa meneruskan kakek di keluarga ini. jadilah seorang ustadzah bukan untuk kakek, melainkan untuk dirimu sendiri dan juga untuk orang lain. Karena sebaik-baiknya orang adalah dia yang bermanfaat bagi orang banyak". Aku tertegun mendengar pesan wasiat yang ditulis oleh kakek tahun itu.  Aku iyakan walaupun ada sedikit keterpaksaan yang datang. Aku bukan perempuan berjilbab, sikapku pun masih banyak yang harus diperbaiki, aku banyak kurangnya, tapi aku mau belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Oh iya, kakek ku seorang kyai, tapi dari salah satunya cucunya tidak ada yang mau tinggal dan meneruskan jejak kakek. Aku adalah cucu perempuan pertama di keluargaku, mungkin karena itu kakek berpesan dan menitipkan nama keluargaku di pundakku, karena aku mampu dan aku harus mau.

Sejak aku meng-iyakan pesan wasiat kakek hari itu, aku mulai belajar berhijab sedikit-sedikit, menutupi seluruh bagian anggota tubuhku agar tidak terlihat dan dipandang oleh orang yang bukan haknya. Hari itu aku mulai belajar banyak tentang al-qur'an, tentang hadist dan larangan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Awalnya aku ragu, takut kalau yang aku lakukan hanya sia-sia. Tapi aku pikir-pikir lagi aku mulai merasa bahwa umurku semakin hari semakin tua, tidak tau mungkin besok meninggal atau hanya tinggal terhitung hari saja untuk dapat hidup di dunia. Aku merasa harus menjadi pribadi yang lebih baik lagi, aku yakin kakek memilihku karena kakek percaya aku mampu, dan kakek yakin aku mau dan bisa meneruskan jejak kakek walau terlahir sebagai seorang perempuan. Aku takut besok akan meninggal, sedangkan aku masih belum membawa banyak bekal. Aku takut timbangan burukku lebih banyak dan lebih berat dibanding amalan yang sudah aku kerjakan. Sejak hari itu aku semakin dekat kepada Allah SWT, aku shalat tepat waktu, aku selalu berdzikir sepanjang waktu, aku bersholawat, aku belajar ceramah dan belajar banyak hal.

Hari itu umurku masih 15 tahun. Untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di pesantren. Aku mulai hidup tanpa keluarga, tanpa ayah ibu dan adik-adik yang biasa menemani hari-hari. Aku menangis, merengek tiada henti, takut tidak bisa tinggal sendiri. Tapi ibu selalu meyakinkanku supaya aku menjadi berani dan kuat. Ibu membisikan seperti ini "Teh, disini banyak temen nya, teteh harus kuat, ibu yakin teteh pasti bisa. teteh di pesantren itu artinya ibu sama ayah udah bisa ngedidik teteh. Teteh disini bisa lebih belajar banyak hal, bukan cuma agama tapi bagaimana hidup di masa yang nyata. Teteh bisa jadi lebih mandiri dan disiplin dalam hal apapun. Ibu titip teteh disini supaya kebaikan-kebaikan yang teteh dapat bisa jdi pahala buat ibu dan ayah. Teteh kuat yah, nanti 3 bulan kedepan ibu ayah sama adik-adik bakalan jenguk teteh. Teteh sehat-sehat ya, jadi perempuan yang sholehah, yang jujur, engga harus pinter. Pinter itu bonus yang penting teteh jadi perempuan yang mempunyai kepribadian yang baik. Ibu, ayah, dan adik-adik pamit yah. Teteh jaga diri". Sejak ucapan ibu waktu itu engga tau kenapa rasanya batinku ikut tertarik, aku menangis sejadi-jadinya. Ibu melambaikan tangan semakin jauh, tapi entah aku justru malah semakin ikhlas. Aku tersenyum dan berlari lalu berteriak "Ibu, ayah teteh ga akan ngecewain kalian, tunggu teteh, lihat teteh, teteh pasti bisa jadi anak kebanggaan ibu dan ayah". Kemudian ayah dan ibu hanya tersenyum dan mengangguk. Langkahnya semakin jauh, mobil yang mengatrakanku hari itu sudah berbalik arah. Dan aku sendirian.

Aku mulai mengangkut beberapa barang masuk ke hujrohku (kamar). Aku bereskan semuanya. Aku diam diatas ranjang. Berisik, semuanya hari itu menangis. Aku lega ternyata bukan hanya aku, ternyata mereka juga sama. Rindu keluarga dan ingin segera pulang.

Aku pergi keluar mencari udara segar, aku melihat hari itu ada anak seusiaku sedang berjalan sendirian di taman. Aku lihat pakaiannya sepertinya dia anak baru, dia sama denganku. Aku beranikan diri dan menyapanya...

"Hallo" kataku sambil menjulurkan tangan

"Hi" Ucapnya singkat

"Aku Salma, dari hujroh Fatimah. Kamu?"

"Aku juga Salma dari hujroh Fatimah" Balasnya

"Kamu becanda ya?" Kataku

"Engga, aku memang Salma, namaku Abidah Salma, tapi memang sejak kecil orang-orang memanggilku Salma"

"Ya sudah kalau begitu aku panggil kamu Abidah saja" Ucapku sinis

"Yasudah terserah" Balasnya begitu "Aku di hujroh Fatimah ranjang nomor 06"

"Loh ko?" Aku kaget, karena bisa sekebetulan ini. "Aku ranjang nomor 05. Bentar-bentar berarti kamu yang tinggal diatas ranjangku?"

Kita berdua saling menatap, lucu sekali rasanya dipertemukan dengan orang yang mempunyai nama dan ranjang yang sama.

Aku merasa beruntung karena bisa menemukan teman pertama di pesantren. Iya Abidah Salma, dia orang yang aku temui di taman hari itu. Sejak pertama bertemu dan bercerita tentang banyak hal, sejak itu juga aku dan Abidah menjadi sangat akrab. Bahkan teman-teman yang lain memanggil kita sebagai sandal, karena selalu berpasangan. Hehe

Aku sebetulnya tertutup, tapi aku ceritakan semuanya pada Abidah kenapa aku mau tinggal disini. Aku ceritakan kalau kakek ku seorang kyai, seorang guru besar di kotaku. Aku tinggal disini karena perintah melalui pesan wasiat yang ditulis oleh kakeku. Dia tersenyum, Abidah hari itu hanya tersenyum tidak melontarkan satu kata apapun. Dia tidak bertanya, tapi aku tetap bercerita panjang lebar. Aku tanya kenapa kamu tidak menggubrisku, katanya ceritaku belum selesai, dia mau mendengar lebih jauh lagi, tidak mau setengah-setangah takut salah. Katanya.

Abidah tidak pernah menegurku, tapi dia selalu menyuruhku. Dia selalu ingin aku melakukan banyak hal supaya kakek bangga melihatku. Abidah selalu mengatakan bahwa shalat harus tepat waktu, harus selalu menebar kebaikan kepada siapapun. Aku semakin akrab dengan Abidah, tapi hari itu juga aku menemukan satu kebenaran bahwa Abidah sakit. Dia sakit parah, dan aku selama itu tidak mengetahuinya. Aku selalu bercerita tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Abidah untuk mengutarakan apa yang dia rasakan. Aku egois. Aku takut mungkin selama ini dia kecewa, tapi dia tidak pernah mau mengutarakannya.

Aku hampir marah karena Abidah tidak memberikan satu pesan apapun padaku hari itu. Dia harus pulang, dia harus kembali ke rumah untuk dirawat. Katanya hidup Abidah tidak akan lama. Aku semakin menangis, aku takut Abidah akan pergi. dan benar saja beberapa hari setelah hari itu sister yang menjaga hujrohku berbisik sambil mengutarakan kabar buruk bahwa Abidah sudah pergi. Dia menitipkan surat lagi, isi pesan nya seperti ini:

"Hallo Salma, jika kamu baca ini dan aku sudah tidak ada di dunia, percayalah aku merasa sangat beruntung bisa mempunyai sahabat sepertimu. Maaf sudah membuatmu marah tapi aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku tidak ingin kamu kasihan melihat penyakit yang selama ini sudah tinggal didalam tubuhku. Sal, tumbuhlah, jadilah perempuan yang hebat. Aku sudah kuat melawan penyakitku, sekarang giliran kamu menjadi kuat, buatlah mimpimu menjadi nyata. Terbanglah, buatlah dunia percaya bahwa kamu bisa menjadi apa yang kamu mau. Teruslah melangkah. Sal, betapa beruntungnya kamu mendapat pesan wasiat yang tidak semua orang mendapatkannya. Jadilah sebaik-baik manusia, jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang banyak".

Air mataku terjatuh, surat yang dititipkan sister hari itu basah. Aku sudah kehilangan kakek-ku dan hari itu juga aku kehilangan sahabatku. Rasanya aku ingin pulang saja, aku tidak mau lagi tinggal di pesantren. Aku putus asa, aku telpon keluargaku meminta untuk segera memulangkanku. Aku tidak ingin disini lagi, kenangan bersama Abidah selalu nampak di depan mata.  Tapi aku masih punya satu janji, aku harus tetap berada disini, aku tidak boleh mengingkari pesan wasiat yang sudah kakek percayakan untuk aku. Aku sudah mengecawakan Abidah, maka aku tidak akan mengecewakan kakek lagi. aku sudah iyakan untuk tinggal disini, karena aku mau dan Abidah juga percaya bahwa aku mampu. Aku yang masih merasa bahwa Abidah ada disini nyatanya dia yang sudah duluan pergi. Aku tau bahwa Abidah tidak akan pernah kembali, tapi aku percaya kebaikannya akan selalu abadi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun