Mohon tunggu...
Cika Tesazabalia
Cika Tesazabalia Mohon Tunggu... Guru - Panggil saja cika

Masih belajar, banyak kurangnya. Dibaca ya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Wasiat Kakek

7 Mei 2021   22:02 Diperbarui: 7 Mei 2021   22:03 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: aplikasi canva

"Ya sudah kalau begitu aku panggil kamu Abidah saja" Ucapku sinis

"Yasudah terserah" Balasnya begitu "Aku di hujroh Fatimah ranjang nomor 06"

"Loh ko?" Aku kaget, karena bisa sekebetulan ini. "Aku ranjang nomor 05. Bentar-bentar berarti kamu yang tinggal diatas ranjangku?"

Kita berdua saling menatap, lucu sekali rasanya dipertemukan dengan orang yang mempunyai nama dan ranjang yang sama.

Aku merasa beruntung karena bisa menemukan teman pertama di pesantren. Iya Abidah Salma, dia orang yang aku temui di taman hari itu. Sejak pertama bertemu dan bercerita tentang banyak hal, sejak itu juga aku dan Abidah menjadi sangat akrab. Bahkan teman-teman yang lain memanggil kita sebagai sandal, karena selalu berpasangan. Hehe

Aku sebetulnya tertutup, tapi aku ceritakan semuanya pada Abidah kenapa aku mau tinggal disini. Aku ceritakan kalau kakek ku seorang kyai, seorang guru besar di kotaku. Aku tinggal disini karena perintah melalui pesan wasiat yang ditulis oleh kakeku. Dia tersenyum, Abidah hari itu hanya tersenyum tidak melontarkan satu kata apapun. Dia tidak bertanya, tapi aku tetap bercerita panjang lebar. Aku tanya kenapa kamu tidak menggubrisku, katanya ceritaku belum selesai, dia mau mendengar lebih jauh lagi, tidak mau setengah-setangah takut salah. Katanya.

Abidah tidak pernah menegurku, tapi dia selalu menyuruhku. Dia selalu ingin aku melakukan banyak hal supaya kakek bangga melihatku. Abidah selalu mengatakan bahwa shalat harus tepat waktu, harus selalu menebar kebaikan kepada siapapun. Aku semakin akrab dengan Abidah, tapi hari itu juga aku menemukan satu kebenaran bahwa Abidah sakit. Dia sakit parah, dan aku selama itu tidak mengetahuinya. Aku selalu bercerita tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Abidah untuk mengutarakan apa yang dia rasakan. Aku egois. Aku takut mungkin selama ini dia kecewa, tapi dia tidak pernah mau mengutarakannya.

Aku hampir marah karena Abidah tidak memberikan satu pesan apapun padaku hari itu. Dia harus pulang, dia harus kembali ke rumah untuk dirawat. Katanya hidup Abidah tidak akan lama. Aku semakin menangis, aku takut Abidah akan pergi. dan benar saja beberapa hari setelah hari itu sister yang menjaga hujrohku berbisik sambil mengutarakan kabar buruk bahwa Abidah sudah pergi. Dia menitipkan surat lagi, isi pesan nya seperti ini:

"Hallo Salma, jika kamu baca ini dan aku sudah tidak ada di dunia, percayalah aku merasa sangat beruntung bisa mempunyai sahabat sepertimu. Maaf sudah membuatmu marah tapi aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku tidak ingin kamu kasihan melihat penyakit yang selama ini sudah tinggal didalam tubuhku. Sal, tumbuhlah, jadilah perempuan yang hebat. Aku sudah kuat melawan penyakitku, sekarang giliran kamu menjadi kuat, buatlah mimpimu menjadi nyata. Terbanglah, buatlah dunia percaya bahwa kamu bisa menjadi apa yang kamu mau. Teruslah melangkah. Sal, betapa beruntungnya kamu mendapat pesan wasiat yang tidak semua orang mendapatkannya. Jadilah sebaik-baik manusia, jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang banyak".

Air mataku terjatuh, surat yang dititipkan sister hari itu basah. Aku sudah kehilangan kakek-ku dan hari itu juga aku kehilangan sahabatku. Rasanya aku ingin pulang saja, aku tidak mau lagi tinggal di pesantren. Aku putus asa, aku telpon keluargaku meminta untuk segera memulangkanku. Aku tidak ingin disini lagi, kenangan bersama Abidah selalu nampak di depan mata.  Tapi aku masih punya satu janji, aku harus tetap berada disini, aku tidak boleh mengingkari pesan wasiat yang sudah kakek percayakan untuk aku. Aku sudah mengecawakan Abidah, maka aku tidak akan mengecewakan kakek lagi. aku sudah iyakan untuk tinggal disini, karena aku mau dan Abidah juga percaya bahwa aku mampu. Aku yang masih merasa bahwa Abidah ada disini nyatanya dia yang sudah duluan pergi. Aku tau bahwa Abidah tidak akan pernah kembali, tapi aku percaya kebaikannya akan selalu abadi.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun