Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Orang Indonesia Susah Banget Untuk Antri?

28 Januari 2025   17:22 Diperbarui: 28 Januari 2025   17:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antri (Sumber: Unsplash)

Bayangkan Anda sedang berdiri di tengah antrean panjang dengan sabar, menunggu giliran. Namun, tiba-tiba seseorang menyelip di depanmu tanpa rasa bersalah. Rasanya kesal, bukan? 

Sayangnya, situasi seperti ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari di banyak tempat umum di Indonesia. Dari halte bus, loket bioskop, hingga antrian di restoran cepat saji, fenomena sulit antri ini seolah menjadi kebiasaan yang sulit diubah.

Namun, apa sebenarnya yang membuat orang Indonesia sulit untuk mematuhi aturan sederhana seperti antri? Berikut ini adalah tiga alasan utama yang sering menjadi akar masalahnya:

Kurangnya Kesadaran dan Rasa Tanggung Jawab

Banyak orang yang melanggar aturan antri sebenarnya tahu bahwa perilaku mereka salah, tetapi tetap melakukannya. Hal ini biasanya didorong oleh pola pikir "asal saya tidak rugi." 

Kurangnya rasa tanggung jawab terhadap kenyamanan bersama membuat antri sering dianggap remeh. Padahal, menghormati aturan antri bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghargaan terhadap sesama.

Rendahnya Kesadaran Kolektif dalam Kedisiplinan

Masalah ini tidak berkaitan dengan kecerdasan individu, tetapi kemampuan masyarakat dalam mematuhi norma-norma sosial. Ketika satu orang memotong antrian, sering kali orang lain justru meniru perilaku tersebut. Ini mencerminkan lemahnya kesadaran kolektif kita untuk menciptakan budaya disiplin. Bandingkan dengan negara-negara maju, di mana antri menjadi bagian dari identitas masyarakat yang beradab.

Budaya Kolektif yang Kurang Tepat

Sebagai masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai kolektif, kita sering memprioritaskan hubungan sosial di atas aturan. Fenomena seperti mendahulukan "orang dalam" atau "kenalan" kerap terjadi, bahkan di tempat umum. Akibatnya, budaya antri yang seharusnya adil bagi semua menjadi terpinggirkan.

Lalu, bagaimana kita bisa mengubah kebiasaan ini? 

Transformasi budaya memang tidak instan, tapi bisa dimulai dari langkah sederhana seperti meningkatkan kesadaran publik lewat edukasi, membangun disiplin kolektif melalui kampanye nasional, dan memastikan penegakan aturan yang tegas di tempat umum.

Contohnya, ketika seseorang mencoba menyelip dalam antrean, kita bisa dengan sopan menegurnya. Misalnya, dengan mengatakan, "Maaf, antreannya dimulai dari belakang, ya." Komunikasi seperti ini mungkin tidak langsung mengubah kebiasaan, tetapi setidaknya dapat memberikan efek jera dan mengingatkan pentingnya aturan.

Selain itu, media massa juga dapat berperan dengan membuat iklan layanan masyarakat yang mengangkat tema pentingnya antri. Misalnya, video pendek yang menunjukkan bagaimana antri dapat menciptakan kenyamanan bersama, dibandingkan dengan kekacauan akibat pelanggaran aturan.

Pada akhirnya, antri bukan hanya tentang urutan atau giliran, tetapi juga tentang menghargai hak orang lain dan membangun masyarakat yang lebih tertib. Jika setiap individu mau memulai perubahan dari diri sendiri, budaya antri yang disiplin dan adil bukan lagi sekadar harapan, melainkan kenyataan. Yuk, mulai sekarang kita jadikan antri sebagai kebiasaan keren yang mencerminkan rasa tanggung jawab dan kecerdasan kita sebagai bangsa Indonesia!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun