Dulu, Angkutan kota (angkot) menjadi andalan masyarakat untuk bepergian di berbagai kawasan Tangerang. Masyarakat bisa bepergian jarak jauh atau dekat menggunakan angkot.
Dengan rute yang menjangkau berbagai kawasan, mulai dari perumahan hingga pasar tradisional, angkot menjadi tulang punggung mobilitas harian.
Tapi makin ke sini, saya melihat semakin sepi kendaraan angkot. Di beberapa wilayah, menunggu angkot bukan lagi perkara mudah. Hanya satu atau dua unit yang melintas dalam kurun waktu satu jam.
Terlebih lagi jika saya butuh angkot di kondisi mendesak, seperti membawa barang belanjaan pasar. Situasi ini mencerminkan perubahan besar dalam pola transportasi masyarakat di era modern.
Pergeseran Transportasi dan Kehadiran OjolÂ
Salah satu penyebab utama penurunan jumlah penumpang angkot adalah kehadiran ojol, seperti contoh Uber, Grab, dan Gojek.Â
Adanya fitur pemesanan yang praktis melalui aplikasi, konsumen merasa lebih diuntungkan. Mereka tidak perlu lagi menunggu lama di pinggir jalan atau menyesuaikan diri dengan rute tertentu. Ojol menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan yang sulit disaingi oleh angkot tradisional.
Salah satu sopir angkot di kawasan Tangerang, mengungkapkan bahwa ia kini hanya mampu membawa tiga hingga empat penumpang dalam satu perjalanan. "Kalau dulu penumpang penuh dalam sekali jalan, sekarang sepi. Banyak yang lebih suka naik ojek online karena lebih cepat," ujarnya.
Sepenglihatan saya, penumpang angkot lebih didominasi oleh anak-anak sekolah dan Ibu-ibu yang sehabis belanja dari pasar tradisional. Termasuk penumpang yang rela menunggu angkot dibandingkan membayar mahal ke kendaraan online.
Benar, hal ini tidak hanya berdampak pada penurunan pendapatan sopir, tetapi juga memaksa banyak dari mereka untuk meninggalkan profesi ini.Â
Tidak sedikit supir angkot yang beralih menjadi mitra ojol demi mencari penghasilan yang lebih stabil. Â
Kondisi dan Tantangan Angkot Saat Ini
Selain persaingan dengan ojol, ada beberapa faktor lain yang turut memengaruhi penurunan popularitas angkot. Salah satunya adalah kondisi kendaraan yang tidak selalu prima.Â
Banyak angkot di Tangerang yang sudah berusia tua, sehingga kurang memberikan kenyamanan bagi penumpang. Hal ini menjadi pertimbangan penting bagi konsumen, terutama generasi muda yang cenderung mengutamakan kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan.Â
Faktor lainnya adalah ketidakpastian jadwal angkot. Penumpang seringkali harus menunggu dalam waktu yang lama tanpa kepastian kapan angkot berikutnya akan tiba. Situasi ini menjadi tantangan besar, terutama bagi mereka yang memiliki jadwal ketat.Â
Selain itu, rute angkot yang cenderung tetap dan tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern membuatnya semakin sulit bersaing dengan moda transportasi lain. Â
Dampak bagi Sopir dan Masyarakat Lokal
Bagi para sopir angkot, kondisi ini menjadi pukulan berat. Pendapatan yang menurun drastis memaksa mereka mencari alternatif penghasilan. Tidak sedikit dari mereka yang menjual kendaraan mereka atau mengubahnya menjadi kendaraan pribadi. Sebagian lainnya memutuskan untuk meninggalkan profesi ini sama sekali. Â
Namun, hilangnya angkot sebagai moda transportasi utama tidak hanya berdampak pada sopir, tetapi juga pada masyarakat lokal yang masih bergantung pada layanan ini. Bagi mereka yang tidak memiliki akses ke smartphone atau teknologi modern, angkot tetap menjadi pilihan utama. Penurunan jumlah angkot di jalanan Tangerang berarti semakin sedikit opsi transportasi bagi kelompok masyarakat ini. Â
Modernisasi dan dominasi transportasi berbasis teknologi memang sulit dihindari, tetapi keberadaan angkot tetap memiliki tempat dalam sejarah mobilitas masyarakat Tangerang.
Meski kini sepi peminat, angkot akan selalu dikenang sebagai moda transportasi yang pernah menjadi andalan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H