Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Instant Gratification: Kenapa Kita Suka Serba Cepat, Tapi Gampang Kecewa?

5 Januari 2025   16:00 Diperbarui: 5 Januari 2025   13:17 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belanja (Sumber: Unsplash/Clay Banks)

Di zaman yang serba cepat ini, segala sesuatu terasa bisa didapat dengan mudah dan cepat. 

Mau belanja? Cukup klik dan bayar, barang datang dalam hitungan jam. Mau hiburan? Buka TikTok atau YouTube, langsung puas. Mau ngobrol? Cek pesan, langsung dibalas. 

Namun, apakah dengan segala kecepatan ini, kita benar-benar merasa puas? Mengapa meskipun segala sesuatunya serba instan, kita masih sering merasa kecewa atau tidak puas?

Instant Gratification: Keinginan yang Menjadi Kebiasaan

Kepuasan instan atau instant gratification, telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. 

Setiap kali kita memperoleh sesuatu dengan cepat, otak kita melepaskan dopamin (hormon) yang membuat kita merasa bahagia. 

Misalnya, saat membeli sesuatu secara online atau saat menonton video pendek yang menarik. Rasanya, setiap kita memperoleh kepuasan secepat itu, kita ingin terus merasakannya.

Namun, kebiasaan mencari kepuasan instan ini bisa memengaruhi cara kita melihat dunia. 

Seiring waktu, kita menjadi lebih terbiasa menginginkan hasil cepat dan sering kali kehilangan kesabaran dalam menjalani proses. Hal ini membuat kita lebih mudah merasa tidak puas ketika sesuatu memerlukan usaha atau waktu lebih lama. 

Padahal, banyak hal yang benar-benar bernilai dalam hidup membutuhkan waktu dan kesabaran untuk benar-benar menikmati hasilnya.

Mengapa Kita Cepat Kecewa? Karena Kita Terlalu Cepat Menginginkannya

Semakin sering kita terbiasa mencari kepuasan instan, semakin tinggi pula ekspektasi kita terhadap segala hal. Kita ingin hasil yang cepat, dan ketika kenyataan tidak memenuhi ekspektasi tersebut, kita sering kali merasa kecewa. 

Coba deh, ingat saat kita menunggu paket yang dibeli online atau pesan makanan lewat aplikasi. 

Tidak jarang kita tiba-tiba bertanya, "Ah, lama nih, kok belum sampai-sampai?" atau "Udah dimana sih makanannya?!" 

Padahal, biasanya pengiriman atau pengantaran membutuhkan waktu yang wajar, tapi rasa menunggu yang lama membuat kita merasa frustasi dan kesal.

Fenomena ini adalah contoh kecil bagaimana budaya ingin cepat sering membuat kita mudah merasa tidak puas. 

Bahkan dalam komunikasi sehari-hari, kita sering mengharapkan respons yang segera, seperti saat mengirim pesan teks atau chatting dengan teman, dan merasa jengkel jika balasan datang terlambat. 

Keinginan untuk segala sesuatu segera mempengaruhi persepsi kita terhadap waktu dan pengharapan yang berlebihan. 

Jika hasil tidak datang secepat yang kita inginkan, kekecewaan pun datang. Padahal, terkadang hal-hal yang membutuhkan waktu lebih panjang justru menawarkan pengalaman yang lebih memuaskan.

Ketika kita terbiasa menginginkan segala sesuatu dengan cepat, kita cenderung kehilangan kemampuan untuk menghargai perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. 

Banyak orang yang merasa lebih bahagia setelah melalui proses yang panjang dan menantang. Kepuasan datang bukan dari hasil yang instan, tetapi dari proses yang dilalui untuk mencapainya.

Apakah Instant Gratification Akan Menjadi Budaya Baru Konsumerisme?

Jika kita terus menerus mengutamakan kepuasan yang cepat dan tanpa hambatan, mungkin kita sedang menuju budaya konsumerisme yang semakin mengedepankan instant gratification.

Budaya belanja yang didorong oleh kebutuhan akan kepuasan instan, ditambah dengan teknologi yang memungkinkan kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hitungan detik, semakin mendorong kita untuk menghindari segala sesuatu yang memerlukan waktu. 

Ini bukan hanya soal barang, tetapi juga soal layanan, hiburan, bahkan cara kita berinteraksi dalam hubungan pribadi.

Mungkin, di dunia konsumerisme yang semakin berkembang ini, kita akan menjadi lebih cemas dengan segala keterlambatan dan lebih terburu-buru dalam membuat keputusan.

Apakah ini berarti kita akan semakin terperangkap dalam budaya konsumerisme yang lebih serba instan, yang akhirnya mengarah pada rasa kecewa yang lebih sering?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun