Terbatasnya Akses Pengetahuan: Membaca buku non-fiksi sering kali menjadi cara utama untuk memperluas wawasan. Jika akses ini terhambat, akan ada efek domino terhadap kualitas pendidikan dan kecerdasan bangsa.
Berubahnya Pola Konsumsi Budaya: Masyarakat akan lebih mengandalkan hiburan instan daripada pembelajaran mendalam yang ditawarkan oleh buku. Apalagi akhir-akhir ini, toko buku juga sudah banyak yang tutup Gerai. Seperti contoh, Gramedia. Tanda-tanda bisa dilihat dari seberapa seringnya mereka mengadakan flash sale.
Seruan untuk Pemangku Jabatan
Halo, para pemangku jabatan. Halo, Pak Menteri Kebudayaan. Halo, Pak Menteri Pendidikan. Apakah tidak ada niat memperjuangkan buku untuk bisa lebih murah? Membaca bukan hanya soal pendidikan formal, tetapi juga bagian dari kebudayaan dan hiburan yang sehat. Jika negara lain bisa membebaskan pajak buku, kenapa kita tidak bisa?
Mungkin ini saatnya untuk memikirkan kebijakan yang lebih pro-buku. Misalnya:
Penghapusan Pajak Buku Bacaan: Buku bacaan umum, termasuk novel dan buku non-fiksi, seharusnya mendapatkan pengecualian pajak seperti buku pendidikan dan agama.
Subsidi Penerbitan Buku: Memberikan dukungan kepada penerbit untuk menjaga harga buku tetap terjangkau.
Kampanye Nasional Literasi: Menggerakkan masyarakat untuk kembali membaca, didukung oleh kebijakan yang membuat buku lebih mudah diakses.
Membaca bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan. Jika buku semakin mahal, kita tidak hanya kehilangan pembaca, tetapi juga kehilangan masa depan yang lebih cerdas dan penuh wawasan. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang lebih akrab dengan drama streaming daripada isi buku. Mari dukung literasi untuk generasi yang lebih baik.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI