Orang yang rajin membaca buku cenderung memiliki kosakata yang lebih kaya dan cara berkomunikasi yang lebih terstruktur. Hal tersebut juga ada di dalam Journal of Applied Social Psychology menunjukkan bahwa membaca karya fiksi dapat memperkuat kemampuan empati serta meningkatkan pemahaman terhadap dinamika sosial.Â
Di sisi lain, pengguna AI sering menggunakan jawaban generik tanpa menggali ide-ide baru. Akibatnya, gaya komunikasi mereka cenderung kurang mendalam. Pernahkah kamu bertanya kepada seseorang yang hanya mengandalkan AI untuk menjawab pertanyaan? Jawabannya terasa datar, kadang rancu jika tidak diperiksa kembali, dan tanpa emosi atau koneksi personal.
Menyelesaikan Masalah: Pendekatan Berbeda
Ketika dihadapkan pada masalah kompleks, orang yang terbiasa membaca buku akan cenderung lebih analitis. Mereka mampu melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. AI, meskipun canggih, hanya memberikan jawaban berdasarkan pola data yang sudah ada.
Misalnya, seorang pengusaha yang membaca buku strategi bisnis memiliki dasar pengetahuan yang lebih kuat untuk mengambil keputusan jangka panjang, dibandingkan dengan pengusaha yang hanya menggunakan AI untuk menganalisis tren pasar.
Hebat mana?
Membaca buku unggul dalam membangun wawasan yang berkelanjutan, sedangkan AI lebih cocok untuk solusi jangka pendek.
Kreativitas dan Imajinasi
Buku, terutama fiksi, adalah jendela menuju dunia yang tak terbatas. Ketika membaca, kita diajak untuk membayangkan karakter, suasana, bahkan konflik yang tidak pernah kita alami. Ini adalah latihan terbaik untuk melatih kreativitas.
Sebaliknya, AI hanya bekerja berdasarkan data. Meskipun AI bisa membantu menghasilkan ide-ide baru, itu tetap terbatas pada pola yang sudah ada. Kreativitas sejati hanya bisa muncul dari proses berpikir manusia yang dipupuk melalui pengalaman, termasuk membaca buku.
Dampak Jangka Panjang