Di era modern sekarang, rebahan tidak lagi dianggap sekadar aktivitas santai. Rebahan telah berevolusi menjadi suatu kebiasaan lama: sebuah gaya hidup yang kudu diterima bahkan dirayakan oleh banyak orang. Generasi kita yang kerap dilabeli sebagai generasi penuh ambisi dan tekanan; kini menjadikan rebahan sebagai bentuk perlawanan, sekaligus pelarian dari dunia yang serba cepat. Di tengah kesibukan yang tiada henti, rebahan menjadi fase yang memberikan kesempatan untuk berhenti sejenak dan menenangkan pikiran.
Namun, apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan kebutuhan untuk istirahat yang lebih layak atau justru merupakan manifestasi dari kemalasan yang terorganisir dengan kedok self-care? Di satu sisi, kita semakin menyadari pentingnya waktu untuk diri sendiri dan kesehatan mental. Sementara di sisi lain, banyak yang merasa bahwa kita mulai terjebak dalam budaya rebahan yang berlebihan, dengan alasan untuk menghindari tanggung jawab atau sekadar melarikan diri dari kenyataan.
Rebahan memang bisa menjadi alat untuk bertahan di tengah dunia yang penuh tekanan. Tapi, apakah ini strategi bertahan hidup yang sehat, atau justru cara kita menunda-nunda? Yuk, kita telusuri fenomena ini lebih dalam.
Rebahan: Antara Tren dan Kebutuhan
Di era digital, segala sesuatu bergerak dalam kecepatan penuh. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga media sosial, semuanya menuntut perhatian dan produktivitas tanpa henti. Apa sebenarnya yang membuat rebahan culture ini begitu digemari?
Tekanan Hustle Culture: Hustle culture atau budaya kerja keras terus-menerus sering mendorong anak muda merasa terjebak dalam siklus produktivitas tanpa akhir. Rebahan adalah cara mereka berkata, “Aku butuh istirahat, dan itu bukan dosa.”
Mudahnya Akses Teknologi: Teknologi memungkinkan kita untuk melakukan segalanya tanpa harus bergerak terlalu jauh—atau bahkan sama sekali. Hiburan, makanan, hingga pekerjaan kini tersedia hanya dalam genggaman. Akibatnya, rebahan terasa semakin nyaman dan praktis.
-
Normalisasi Self-Care: Tren self-care mendorong anak muda untuk lebih santai pada diri sendiri. Rebahan kemudian menjadi bentuk perwujudan self-care yang tidak berbayar.
Selain itu meskipun secara tidak langsung, rebahan bisa jadi ada hubungannya dengan perundungan di tempat kerja. Salah satu alasan mengapa seseorang merasa perlu lebih banyak waktu untuk rebahan bisa jadi adalah untuk mengatasi stres atau tekanan yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja yang toxic atau bahkan perundungan (bullying) di tempat kerja.
Perundungan di tempat kerja bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang, yang akhirnya membuat individu tersebut merasa tertekan, cemas, dan lelah secara emosional. Dalam kondisi seperti itu, rebahan bisa menjadi cara untuk melarikan diri dari stres tersebut, meskipun bukan solusi jangka panjang. Ini bisa menjadi semacam mekanisme yang tidak produktif jika dilakukan berlebihan.
Sebaliknya, rebahan juga bisa menjadi tanda bahwa seseorang butuh istirahat untuk menjaga kesehatan mental, terutama jika mereka merasa tertekan atau dieksploitasi di tempat kerja. Orang yang mengalami perundungan sering merasa tidak punya kontrol atas kehidupan mereka di tempat kerja, sehingga mengambil jeda atau beristirahat bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak adil.
Sisi Positif Rebahan: Lebih dari Sekadar Malas
Meski sering dikritik, rebahan bukan tanpa manfaat. Faktanya, rebahan dapat memberikan banyak dampak positif jika dilakukan dengan bijak:
- Mengurangi Stres: Rebahan membantu tubuh dan pikiran untuk beristirahat. Ini sangat penting, terutama bagi mereka yang sering merasa overwhelmed dengan tuntutan hidup dari atasan atau beban pekerjaan.
- Meningkatkan Kreativitas: Banyak ide brilian muncul ketika seseorang sedang santai. Rebahan memberi ruang bagi otak untuk merenung tanpa tekanan. Metode rebahan ini berhubungan dengan mereka, pekerja kreatif, untuk mendapatkan ide dari rebahan plus nge-scroll TikTok maupun media sosial lainnya.
- Mencegah Burnout: Dengan jeda yang cukup, risiko kelelahan mental akibat pekerjaan atau aktivitas berat pun bisa diminimalkan.
Tapi, Jangan Terjebak Sindrom Rebahan!
Meski punya sisi positif, rebahan yang berlebihan bisa berubah menjadi jebakan yang menghambat produktivitas dan bahkan kesehatan. Beberapa tanda kamu terjebak sindrom rebahan adalah:
Prokrastinasi yang Berkepanjangan: Tugas menumpuk, tapi Anda tetap memilih “nanti saja”. Rebahan jadi alasan untuk menghindari tanggung jawab.
Kurangnya Aktivitas Fisik: Terlalu lama rebahan bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti nyeri punggung dan gangguan tidur.
Rasa Bersalah yang Menyelimuti: Alih-alih merasa segar setelah rebahan, kamu bisa saja diliputi perasaan bersalah karena telah membuang waktu yang sia-sia.
Rebahan yang Bijak: Seni Menyeimbangkan Hidup
Rebahan yang bijak bukan sekadar tentang menikmati kenyamanan kasur, tetapi bagaimana menjadikannya sebagai bagian dari pola hidup yang lebih seimbang. Meskipun rebahan sering diidentikkan dengan kemalasan, sebenarnya ada cara untuk menjadikan waktu beristirahat ini lebih produktif dan bermanfaat. Kuncinya adalah tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti sejenak, memberi tubuh dan pikiran ruang untuk pulih, dan pada saat yang sama, tetap menjaga keseimbangan dengan aktivitas lainnya.
Namun, seperti halnya segala sesuatu dalam hidup, rebahan pun harus dilakukan dengan bijak. Terlalu banyak rebahan bisa mengarah pada prokrastinasi dan kehilangan momentum. Sementara terlalu sedikit rebahan bisa berujung pada kelelahan dan burnout. Jadi, bagaimana caranya menjadikan rebahan sebagai alat untuk mengisi ulang energi tanpa mengorbankan produktivitas?
- Atur Jadwal Rebahan: Rebahan tidak salah, tapi pastikan Anda melakukannya di waktu yang tepat. Gunakan waktu istirahat setelah menyelesaikan pekerjaan atau aktivitas penting.
- Batasi Durasi: Jangan rebahan sepanjang hari. Cukupkan 20–30 menit untuk memberi tubuh dan pikiran kesempatan beristirahat tanpa kehilangan momentum produktivitas.
- Gabungkan dengan Aktivitas Positif: Saat rebahan, Anda bisa melakukan hal produktif seperti membaca buku, mendengarkan podcast, atau sekadar meditasi ringan.
- Kenali Kapan Harus Bangkit: Rebahan yang sehat adalah rebahan yang diikuti dengan semangat untuk kembali produktif. Jangan biarkan bantal dan guling jadi sahabat permanen Anda.
Rebahan Sebagai Refleksi, Bukan Pelarian
Rebahan memang bisa menjadi cara untuk melarikan diri dari tekanan. Namun, jika dilakukan dengan niat refleksi, rebahan justru dapat menjadi momen berharga untuk mengenal diri sendiri, merancang langkah ke depan, dan mengisi ulang energi.
Di tengah dunia yang serba cepat ini, mungkin kita memang butuh lebih banyak waktu untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan rebahan. Namun, jangan lupa, setelah rebahan, kita harus bangkit dan kembali melangkah. Karena dunia ini, sayangnya, tidak akan berhenti hanya untuk kita beristirahat.
Mari Kita Demokan: Rebahan untuk Hidup yang Lebih Baik
Nikmatilah rebahanmu tanpa merasa bersalah, anak muda.
Rebahan for life bukan berarti hidup hanya untuk rebahan, tapi menjadikan rebahan sebagai salah satu cara untuk bertahan di tengah tekanan hidup. Ketika dilakukan dengan bijak, rebahan bukanlah tanda kemalasan, melainkan bukti bahwa kita tahu kapan harus berhenti sejenak untuk mengisi ulang energi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H