Apakah sistem pendidikan kita selama ini benar-benar mampu mencetak generasi mandiri?
Sejak lama, Ujian Nasional (UN) menjadi momok bagi siswa karena berfungsi sebagai penentu kelulusan. Sistem ini menetapkan standar tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia. Namun, di tengah perubahan sistem, muncul kritik bahwa UN terlalu fokus pada hasil akhir berupa angka dan kurang mendukung pengembangan karakter siswa. Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia terus beradaptasi untuk menemukan sistem pendidikan terbaik bagi siswa/i kita.Â
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah kini memperkenalkan Kurikulum Merdeka, sebuah pendekatan baru yang lebih fleksibel dan berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa. Kurikulum yang mulai diterapkan pada tahun 2021 ini merupakan langkah awal pemerintah Indonesia untuk mengatasi berbagai tantangan dalam dunia pendidikan. Kurikulum ini dirancang agar lebih fleksibel, berpusat pada siswa, dan relevan dengan kebutuhan abad ke-21.
Desas-desus mengenai kembalinya UN kembali mengejutkan setelah sekian lama Pak Nadiem Makarim menghapuskan Ujian Nasional dan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Isu ini mengundang banyak pertanyaan dan spekulasi: Apakah UN akan benar-benar kembali diadakan?
Dalam diskursus pendidikan di Indonesia, wacana tentang kemungkinan pengembalian Ujian Nasional (UN) telah memunculkan perdebatan yang mendalam. Untuk menganalisis isu ini, Habermas memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai bagaimana keputusan tersebut sebaiknya diambil. Menurut Habermas (1992), melalui konsep ruang publik, kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan bersama seharusnya melalui proses diskusi rasional yang terbuka dan melibatkan berbagai pihak, bukan semata-mata diputuskan oleh otoritas yang berkuasa.
Dengan pendekatan sistem pendidikan yang amat berbeda, sistem manakah yang lebih efektif dalam membentuk generasi mandiri?
Ujian Nasional: Standar Tunggal Penentu Kelulusan
Ujian Nasional (UN), yang mulai dilaksanakan pada tahun 2005 dan berakhir pada 2021, telah menjadi tolok ukur utama dalam mengevaluasi capaian pendidikan di Indonesia. UN berfungsi sebagai standar untuk menilai kemampuan siswa dalam berbagai mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta menjadi penentu kelulusan mereka.
Tujuan utama dari UN adalah untuk menentukan kelulusan, memetakan kualitas pendidikan secara nasional, dan menjadi alat seleksi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap soal dalam ujian ini disusun oleh pusat dengan mengandalkan Bank Soal Nasional, yang berisi kumpulan soal yang disiapkan dengan cermat.
Salah satu kelebihan utama UN adalah kemampuannya untuk memberikan gambaran kuantitatif tentang capaian pendidikan secara merata di seluruh Indonesia. Pemerintah dapat mengevaluasi sejauh mana kurikulum diterapkan di berbagai daerah dan memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Selain itu, sebagai standar yang seragam, UN memudahkan perbandingan hasil pendidikan antar daerah.
Namun, ada juga kekurangan yang tak bisa diabaikan. UN sering dianggap terlalu fokus pada angka dan hasil akhir, sehingga mengabaikan pentingnya proses pembelajaran itu sendiri. Tekanan untuk meraih nilai tinggi membuat banyak siswa dan guru terjebak dalam pola pembelajaran yang hanya berorientasi pada ujian (teaching to the test), yang berisiko mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan seni dan budaya.
Lebih jauh lagi, pendekatan ini memaksa siswa untuk mengabaikan aspek lain dalam pembelajaran yang sebenarnya lebih penting, seperti kemampuan berpikir kritis. Siswa dituntut dengan cara belajar "menghafal mati-matian" dengan beban materi selama 3 tahun terakhir. Di sinilah pendidikan kehilangan tujuan utamanya, yaitu membentuk individu yang siap menghadapi tantangan nyata di dunia, bukan sekadar menghafal dan mengerjakan soal ujian dengan baik.
Kurikulum Merdeka: Membuka Ruang Kreativitas dan Kemandirian
Di tengah ketegangan ini, Kurikulum Merdeka muncul sebagai angin segar, menawarkan pendekatan yang jauh berbeda. Alih-alih terjebak pada evaluasi berbasis ujian seperti UN, sistem ini mendorong penggunaan asesmen berbasis proyek dan pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti yang tercermin dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter.
Kurikulum Merdeka memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka melalui Profil Pelajar Pancasila. Profil ini mencakup enam dimensi utama yang diharapkan dapat membentuk karakter siswa, yakni beriman, bernalar kritis, kreatif, mandiri, gotong royong, dan berkebinekaan global. Dengan adanya proyek berbasis komunitas atau masalah lokal, siswa juga diajak untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah yang relevan dengan kehidupan nyata.
Selain itu, Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk belajar dengan cara yang lebih relevan dan kontekstual, memperkaya pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan dunia nyata, bukan hanya sekadar mengejar nilai ujian.
Namun, tantangan tetap ada. Tidak semua guru siap mengadopsi metode baru ini. Dibutuhkan pelatihan intensif agar para guru dapat mengimplementasikan pembelajaran berbasis proyek secara efektif. Selain itu, kesenjangan infrastruktur dan kesiapan daerah juga menjadi hambatan dalam menerapkan kurikulum ini secara merata.
Hilangnya elemen "berkompetisi" juga membawa dampak negatif. Tanpa adanya tantangan nyata untuk berkompetisi, beberapa siswa mungkin merasa kurang terdorong untuk memberikan yang terbaik dari diri mereka. Ketika sistem pendidikan tidak lagi menuntut usaha ekstra untuk mencapai hasil yang lebih baik, bisa jadi siswa kehilangan dorongan untuk mengembangkan potensi maksimal mereka. Meskipun karakter yang baik sangat penting, keseimbangan antara pengembangan karakter dan kemampuan untuk bersaing dalam lingkungan yang penuh tantangan juga perlu dipertimbangkan agar siswa dapat lebih siap menghadapi dunia nyata.
Generasi Mandiri: Hasil dari Proses, Bukan Sekadar Hasil Akhir
Jika dibandingkan, Ujian Nasional cenderung menciptakan generasi yang terlatih untuk mengikuti aturan dan mencapai target tertentu, tetapi kurang menekankan pada pengembangan kemandirian. Di sisi lain, Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan bagi siswa untuk menjadi pembelajar yang mandiri dan adaptif, sesuai dengan kebutuhan zaman yang terus berubah.
Generasi mandiri adalah mereka yang mampu berpikir kritis, mengambil keputusan, dan belajar dari kesalahan. Hal ini lebih mungkin dicapai melalui pendekatan yang menekankan proses pembelajaran, seperti yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka.
Pendidikan idealnya bukan hanya tentang mengukur hasil, tetapi juga tentang membentuk karakter. Dengan segala kelebihan dan tantangannya, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen semua pihak, mulai dari pemerintah, guru, hingga siswa itu sendiri. Guru yang dapat menilai sejauh mana kompetensi dan karakter anak bisa dibangun melalui sistem Ujian Nasional atau Kurikulum Merdeka. Keterlibatan dari seluruh pihak bisa menumbuhkan ruang publik yang dinamis dan mengambil keputusan yang tepat.
Perspektif Guru, Siswa, dan Orang Tua: Menimbang Dua Sistem Pendidikan
Guru
Bagi banyak guru, Ujian Nasional (UN) memberikan pedoman yang jelas dan terstruktur, memberikan arah yang pasti dalam mengukur keberhasilan siswa. Namun, sistem ini sering membatasi kreativitas pengajaran mereka, seolah mengharuskan mereka untuk mengajarkan materi sesuai dengan standar ujian semata.Â
Sebaliknya, Kurikulum Merdeka menawarkan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar, memberi ruang bagi guru untuk berinovasi dan mengeksplorasi metode pengajaran yang lebih hidup. Namun, fleksibilitas ini datang dengan tantangan besar: adaptasi terhadap cara baru yang memerlukan pemahaman mendalam dan kesiapan yang tidak sedikit.
Siswa
Bagi siswa, UN mungkin membentuk kebiasaan belajar yang disiplin dan terstruktur, tetapi tak jarang, sistem ini terasa membebani dan mengikis semangat mereka dalam belajar. Ada tekanan besar untuk sekadar memenuhi standar, tanpa memberi ruang untuk mengeksplorasi minat mereka.Â
Kurikulum Merdeka, di sisi lain, menawarkan pembelajaran yang lebih relevan dengan kehidupan nyata---sesuatu yang membuat siswa merasa lebih terhubung dan termotivasi. Namun, di balik kebebasan itu, ada juga kekhawatiran akan kurangnya tantangan yang bisa memacu semangat kompetitif mereka.
Orang Tua
Bagi orang tua, UN memberikan tolak ukur yang jelas tentang pencapaian anak mereka---angka yang bisa dibaca, dimengerti, dan dibandingkan. Namun, dengan Kurikulum Merdeka, orang tua mungkin merasa kesulitan untuk mengikuti perkembangan anak mereka yang tidak lagi diukur dengan cara yang konvensional. Kurikulum ini mengharuskan orang tua untuk lebih terlibat dalam memahami proses belajar anak, bahkan mungkin berusaha lebih keras untuk mendukung anak mereka dalam mencapai tujuan yang lebih holistik.
Jika Anda bisa memilih, sistem manakah yang menurut Anda paling sesuai untuk membentuk generasi muda sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H