Namun, ada juga kekurangan yang tak bisa diabaikan. UN sering dianggap terlalu fokus pada angka dan hasil akhir, sehingga mengabaikan pentingnya proses pembelajaran itu sendiri. Tekanan untuk meraih nilai tinggi membuat banyak siswa dan guru terjebak dalam pola pembelajaran yang hanya berorientasi pada ujian (teaching to the test), yang berisiko mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan seni dan budaya.
Lebih jauh lagi, pendekatan ini memaksa siswa untuk mengabaikan aspek lain dalam pembelajaran yang sebenarnya lebih penting, seperti kemampuan berpikir kritis. Siswa dituntut dengan cara belajar "menghafal mati-matian" dengan beban materi selama 3 tahun terakhir. Di sinilah pendidikan kehilangan tujuan utamanya, yaitu membentuk individu yang siap menghadapi tantangan nyata di dunia, bukan sekadar menghafal dan mengerjakan soal ujian dengan baik.
Kurikulum Merdeka: Membuka Ruang Kreativitas dan Kemandirian
Di tengah ketegangan ini, Kurikulum Merdeka muncul sebagai angin segar, menawarkan pendekatan yang jauh berbeda. Alih-alih terjebak pada evaluasi berbasis ujian seperti UN, sistem ini mendorong penggunaan asesmen berbasis proyek dan pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti yang tercermin dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter.
Kurikulum Merdeka memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka melalui Profil Pelajar Pancasila. Profil ini mencakup enam dimensi utama yang diharapkan dapat membentuk karakter siswa, yakni beriman, bernalar kritis, kreatif, mandiri, gotong royong, dan berkebinekaan global. Dengan adanya proyek berbasis komunitas atau masalah lokal, siswa juga diajak untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah yang relevan dengan kehidupan nyata.
Selain itu, Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk belajar dengan cara yang lebih relevan dan kontekstual, memperkaya pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan dunia nyata, bukan hanya sekadar mengejar nilai ujian.
Namun, tantangan tetap ada. Tidak semua guru siap mengadopsi metode baru ini. Dibutuhkan pelatihan intensif agar para guru dapat mengimplementasikan pembelajaran berbasis proyek secara efektif. Selain itu, kesenjangan infrastruktur dan kesiapan daerah juga menjadi hambatan dalam menerapkan kurikulum ini secara merata.
Hilangnya elemen "berkompetisi" juga membawa dampak negatif. Tanpa adanya tantangan nyata untuk berkompetisi, beberapa siswa mungkin merasa kurang terdorong untuk memberikan yang terbaik dari diri mereka. Ketika sistem pendidikan tidak lagi menuntut usaha ekstra untuk mencapai hasil yang lebih baik, bisa jadi siswa kehilangan dorongan untuk mengembangkan potensi maksimal mereka. Meskipun karakter yang baik sangat penting, keseimbangan antara pengembangan karakter dan kemampuan untuk bersaing dalam lingkungan yang penuh tantangan juga perlu dipertimbangkan agar siswa dapat lebih siap menghadapi dunia nyata.
Generasi Mandiri: Hasil dari Proses, Bukan Sekadar Hasil Akhir
Jika dibandingkan, Ujian Nasional cenderung menciptakan generasi yang terlatih untuk mengikuti aturan dan mencapai target tertentu, tetapi kurang menekankan pada pengembangan kemandirian. Di sisi lain, Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan bagi siswa untuk menjadi pembelajar yang mandiri dan adaptif, sesuai dengan kebutuhan zaman yang terus berubah.