Saat ini, harga rumah yang terus melonjak membuat impian untuk memiliki rumah semakin sulit tercapai, terutama bagi anak muda. Terlebih lagi, kebiasaan konsumtif di kalangan milenial, yang lebih memilih berbelanja ketimbang menabung, semakin mempersulit mereka untuk membeli rumah.
Tren minum kopi yang kini menjadi bagian dari gaya hidup generasi milenial juga turut mencerminkan hal tersebut. Kopi bukan hanya sekadar minuman untuk menghilangkan kantuk, tetapi telah menjadi bagian penting dalam rutinitas sehari-hari, terlihat dari banyaknya kedai kopi yang berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Jika kamu masih muda (di bawah 40 tahun) dan sudah memiliki rumah di Jakarta, selamat! Kamu termasuk dalam 56,57% warga Jakarta yang sudah memiliki tempat tinggal. Dan bisa jadi, salah satu alasan kamu bisa memiliki rumah adalah karena tidak terlalu sering membeli kopi!
Tapi, apakah benar begitu? Apakah kamu memang jarang beli kopi?
Beberapa pejabat sempat menyebutkan bahwa kebiasaan generasi muda membeli kopi bisa menjadi penghalang mereka untuk memiliki rumah. Contohnya, Menteri BUMN Erick Thohir yang pernah berpendapat bahwa generasi muda lebih sering menghabiskan uang untuk gaya hidup daripada menabung untuk membeli rumah. Begitu juga dengan Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan PT Sarana Multigriya Finansial, Heliantopo, yang menyarankan agar Gen-Z mengurangi pengeluaran untuk kopi demi bisa membeli rumah.
Namun, tetap saja masalah utamanya sama, yaitu generasi muda kelas menengah sulit untuk membeli rumah. Misalnya, jika seseorang ingin membeli rumah di Jakarta Selatan seharga Rp 1 miliar dengan cicilan Rp 10 juta per bulan, dan kebiasaannya membeli kopi yang harganya sekitar Rp 50 ribu per hari, total uang yang bisa dihemat hanya sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Itu pun masih jauh dari cukup untuk menutupi cicilan rumah, apalagi uang muka!
Yang menarik, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menyalahkan kebiasaan membeli kopi ini. Menurutnya, sulitnya generasi muda membeli rumah lebih disebabkan oleh tingginya harga rumah yang memang jauh di luar jangkauan kemampuan mereka. Di wilayah Jabodetabek, harga rumah bahkan bisa naik lebih dari 5% pada tahun 2022.
Masalah ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi juga masalah struktural yang perlu diselesaikan dengan kebijakan yang tepat.
Isu perumahan yang layak dan terjangkau memang menjadi tantangan besar, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Masalah ini semakin kompleks karena harga rumah yang terus meroket, membuat banyak orang, terutama generasi muda, kesulitan untuk membeli tempat tinggal.
Yang perlu digarisbawahi adalah, selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memegang peran penting dalam menyelesaikan masalah ini. Mereka memiliki kewenangan untuk merancang kebijakan perumahan yang dapat menyediakan hunian yang layak dan terjangkau di tengah kota, yang tentunya harus terintegrasi dengan transportasi publik. Kebijakan ini sangat penting untuk memudahkan aksesibilitas dan mengurangi beban biaya hidup.