Diglosia adalah istilah kata untuk keragaman dua dialek yang berasal dari satu bahasa induk dan diakui pada waktu bersamaan.
Tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diglosia memiliki arti situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat.
Ferguson mengartikan diglosia sebagai sebuah kata yang dapat digunakan untuk menyatakan peranan dua variasi bahasa yang mewakili keadaan masyarakat. Misalnya, ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor atau bahasa B untuk suasan intim di rumah.
Sejarah Singkat
Kata diglossie (penyerap diglosia) dimunculkan oleh Ioannis Psycharis, seorang bahasawan Yunani, Kemudian, perkembangan diglosia berlanjut pada tahun 1930 ketika William Marais, seorang ahli bahasa Arab mencoba untuk menuliskan situasi bahasa di Arab.
Hal ini yang mendorong praktik perpaduan bahasa di masyarakat, yaitu ragam formal dan non-formal dari satu perpaduan bahasa yang diakibatkan oleh latar belakang konteks sosial masyarakat.
Sumber lain mencatat diglosia merupakan hasil penemuan ide C.A. Ferguson yang dinyatakan dalam sebuah simposium. Tahun 1958, seorang sarjana Standford University membahas adanya sembilan kriteria diglosia, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Kriteria Diglosia
Tahun 1958, seorang sarjana Standford University membahas adanya sembilan kriteria diglosia, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Kriteria tersebut mengacu pada dua dialek bahasa yang terjadi pada bangsa Indonesia, yakni bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Kegunaan Diglosia
Pada dasarnya, masyarakat menggunakan dialek tinggi atau dialek T pada saat menulis. Bahasa ini lebih diakui keberadaaanya karena dialek T adalah dialek dasar dan cocok dipraktikkan dalam situasi penting, seperti pendidikan formal.
Sebaliknya masyarakat lebih cocok menggunakan dialek rendah (dialek R) pada saat berbicara. Bahasa ini lebih banyak keberagamannya karena ada pengaruh secara langsung dari bahasa asing maupun bahasa daerah Indonesia.
Praktik Diglosia
Penerapan diglosia dapat kita temui dalam penggunaan kata saya, aku, gue, dan ane. Padahal kalau dicermati, kata tersebut hanya mengganti tokoh utama yang sedang berbicara atau menulis.
Contoh yang lain lagi bisa dilihat pada penerapan kata duit dan uang, gawe dan kerja, serta bokap dan bapa.Â
Selain itu, seringkali terjadi di masyarakat kota saat berbicara dengan campuran bahasa Indonesia. Siapa yang pernah bilang jujurly?
Dampak Diglosia
Keragaman bahasa memang menjadi kegalauan kita saat mempraktikkan bahasa, terutama pada saat menulis.
Bagaimana cara kita menulis dengan baku dengan menggunakan kalimat yang sederhana sehingga dapat tersampaikan kepada pembaca?
Alih-alih penulis zaman sekarang lebih cenderung mempraktikkan bahasa lisan ke dalam tulisan. Padahal, itu sama sekali tidak boleh disamaratakan dengan bahasa tulisan. Sama halnya dengan susunan dialek tinggi dan rendah yang memiliki fungsinya masing-masing.
Dampak sebagai masyarakat informasi juga seringkali terjadi pada penulisan takarir media sosial. Apa yang biasanya Kompasianer gunakan? Ragam bahasa dengan dialek tinggi, rendah, atau keduanya?
Salam, Tesalonika.
Referensi:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Astuti, Widi. 2017. Diglosia Masyarakat Tutur Pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian Kebahasaan Terhadap Bahasa Fusha Dan Bahasa 'Amiyah Dilihat Dari Perspektif Sosiolinguistik). https://journal.staimsyk.ac.id/index.php/almanar/article/download/29/10.
3. Nuryahya. 2012. Bilingualism and Diglosia. slideshare.net.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H