[caption caption="Foto perahu nelayan Denmark (Sumber: flickr.com, 2015)"][/caption]
Nelayan? Yang terbayang mungkin bau anyir ikan dan kulit legam tersiram cahaya matahari. Dan tentu saja hidup marginal, miskin.
Tapi, jangan bayangkan itu terhadap nelayan Denmark. Ketika sedang mencari cari alamat TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Di Aarhus, Denmark, saya melihat seseorang turun dari mobil Volvo yang tergolong mewah di negara kita.
Agak ragu, saya mendekat, bertanya alamat yang akan dituju. Pria tersebut menatap saya kemudian tersenyum.
Pria :” Jeg er en fisker”
Saya: “Jeg er studerende. International studerende fra Indonesien”
Pria yang ternyata berprofesi sebagai nelayan, ya, nelayan yang mengendarai mobil mewah itu akan menuju ke tempat pelelangan ikan yang sedang saya cari. Kamipun berjalan bersama sama sambil ngobrol ngalur ngidul. Akrab, walaupun baru kenal.
Income Percapita Denmark
Pendapatan per-capita (nominal) Denmark adalah sebesar (tergantung sumber data) AS$ 51.424, rangking 8 dunia (sumber: IMF, 2015); AS$ 60.634, rangking 6 dunia (sumber: World Bank, 2014) dan AS$61.294, rangking 8 dunia (Sumber: United Nations, 2014). Untuk jelasnya bisa dilihat di Tabel di bawah:
[caption caption="Tabel Income per-capita (nominal) beberapa negara di dunia (Sumber: Wikipedia, 2016)."]
Kalau dibandingkan dengan Indonesia yang penghasilan rata rata penduduknya sekitar AS$ 3.400 (sekitar Rp 45 juta) per-kapita pert-tahun, maka penghasilan penduduk Denmark yang sebesar AS$ 60 ribu (Rp 780 juta) per-orang pertahun, seperti membandingkan gajah dengan semut.
Pak nelayan yang mengaku bernama Lars, bercerita bahwa dia dan istri sudah berkunjung ke semua negara Eropa, dan lebih separuh negara di dunia.
Penghasilan pak Lars sebagai nelayan cenderung “tetap,” artinya ketika musim ikan melimpah, maka koperasi nelayan dan pemerintah akan membelinya. Ini semacam “buffer,” sehingga harga ikan tak menukik jatuh.
Tetapi, kalau musim hasil tangkap rendah, harga ikan meroket naik, maka diserahkan pada mekanisme pasar. Nelayan menikmati harga pasar yang tinggi. Tak ada istilah nelayan yang terlilit oleh hutang dengan tengkulak.
Pak Lars kemudian berkisah tentang tiga anaknya. Dari dua orang anak yang melanjutkan ke perguruan tinggi, satu jadi dokter gigi. Anak ketiga “malas” belajar, dan suka ikut menangkat ikan di laut. Pasti akan menggantikan posisinya sebagai nelayan.
Sayapun bilang, toh hidup sebagai nelayan cukup enak. Pak Lars tersenyum lebar, kemudian bilang bahwa “tak enaknya” jadi nelayan adalah libur yang pendek. Saat musim panas ketika orang lain libur, dia justru ke laut, karena musim panas adalah musim puncak penangkapan ikan.
Sementara itu, kalau musim gugur dan dingin, objek wisata banyak tutup. Tapi, saat gugur dan dingin adalah ketika musim ikan lagi tinggi harganya di pasaran. Jadi serba salah, kata pak Lars. Kemudian dia cepat cepat bilang :” life is so wonderful”
Negara Kecil, Ekspor Ikan Besar
Penduduk Denmark berjumlah sekitar 5,6 juta jiwa. Bandingkan dengan negara kita yang berjumlah 250 juta jiwa, hampir 45 kali lebih banyak.
Jumlah nelayan sekitar 20 ribu jiwa saja di Denmark. Nelayan ini bekerja sebagai penangkap ikan (fishing), pemelihara ikan (aquaculture) dan industri yang berhubungan dengan perikanan. Tapi, ekspor perikanan Denmark nomor enam di Eropa dengan total ekspor senilai AS$ 2,6 milyar (sekitar Rp 33 Triliun).
Urutan negara pengekspor ikan di Eropa adalah ssb:
1. Norway: $10.8 billion
2. Netherlands: $3.9 billion
3. Sweden: $3.7 billion
4. Spain: $3 billion
5. Russia: $2.8 billion
6. Denmark: $2.6 billion
Kalau saja kita bisa “mencontoh” Denmark, maka nilai ekspor perikanan kita akan 45 (lipat jumlah penduduk) x AS$ 2,6 milyar = AS$ 117 Milyar (Rp 1521 Triliun). Hampir menyamai APBN kita.
Kapan kita mulai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H