Tetapi, kalau musim hasil tangkap rendah, harga ikan meroket naik, maka diserahkan pada mekanisme pasar. Nelayan menikmati harga pasar yang tinggi. Tak ada istilah nelayan yang terlilit oleh hutang dengan tengkulak.
Pak Lars kemudian berkisah tentang tiga anaknya. Dari dua orang anak yang melanjutkan ke perguruan tinggi, satu jadi dokter gigi. Anak ketiga “malas” belajar, dan suka ikut menangkat ikan di laut. Pasti akan menggantikan posisinya sebagai nelayan.
Sayapun bilang, toh hidup sebagai nelayan cukup enak. Pak Lars tersenyum lebar, kemudian bilang bahwa “tak enaknya” jadi nelayan adalah libur yang pendek. Saat musim panas ketika orang lain libur, dia justru ke laut, karena musim panas adalah musim puncak penangkapan ikan.
Sementara itu, kalau musim gugur dan dingin, objek wisata banyak tutup. Tapi, saat gugur dan dingin adalah ketika musim ikan lagi tinggi harganya di pasaran. Jadi serba salah, kata pak Lars. Kemudian dia cepat cepat bilang :” life is so wonderful”
Negara Kecil, Ekspor Ikan Besar
Penduduk Denmark berjumlah sekitar 5,6 juta jiwa. Bandingkan dengan negara kita yang berjumlah 250 juta jiwa, hampir 45 kali lebih banyak.
Jumlah nelayan sekitar 20 ribu jiwa saja di Denmark. Nelayan ini bekerja sebagai penangkap ikan (fishing), pemelihara ikan (aquaculture) dan industri yang berhubungan dengan perikanan. Tapi, ekspor perikanan Denmark nomor enam di Eropa dengan total ekspor senilai AS$ 2,6 milyar (sekitar Rp 33 Triliun).
Urutan negara pengekspor ikan di Eropa adalah ssb:
1. Norway: $10.8 billion
2. Netherlands: $3.9 billion
3. Sweden: $3.7 billion
4. Spain: $3 billion
5. Russia: $2.8 billion
6. Denmark: $2.6 billion
Kalau saja kita bisa “mencontoh” Denmark, maka nilai ekspor perikanan kita akan 45 (lipat jumlah penduduk) x AS$ 2,6 milyar = AS$ 117 Milyar (Rp 1521 Triliun). Hampir menyamai APBN kita.
Kapan kita mulai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H