Mohon tunggu...
Yugo Tara
Yugo Tara Mohon Tunggu... Pengacara - PW

Observer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mempertanyakan Dukungan KTP Paslon Indipenden di Sumbar

21 Februari 2020   17:53 Diperbarui: 21 Februari 2020   18:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Sumatera Barat, baru baru ini, Inspektur Jenderal Polisi Fakhrizal baru saja menyerahkan berkas dukungan politik untuknya sebagai salah seorang kandidat peserta Pilkada Sumbar kepada KPU. Fakhrizal yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Sumbar menyerahkan puluhan box berisikan surat dukungan pencalonannya sebagai Calon Gubernur Sumbar.

Menariknya, dukungan yang diserahkan Fakhrizal itu adalah dukungan yang dikumpulkan saat ia masih menjadi anggota Polri aktif dan menjabat sebagai Kapolda. Namun entah mengapa, tidak ada satupun pihak yang menolaknya. Jangankan memprotes menolak, bersuara mengingatkan-pun tidak ada. Fakhrizal dan Genius melenggang mengumpulkan KTP dukungan ke masyarakat.

Jika mengacu pada UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi "Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis". Pasal itu secara jelas dan tegas mengatur bahwa anggota Polri tidak dibenarkan terlibat dalam politik praktis dalam bentuk apapun.

Tentu saja keikutsertaan Fakhrizal ini membuat saya merasa ada yang salah. Sebab, proses pengumpulan KTP yang dilakukan Fakhrizal dan melibatkan beberapa anak anak muda itu dilakukan pada saat ia masih aktif sebagai anggota Polri dan menjabat sebagai Kapolda.

Ini jelas Abuse of Power. Fakhizal jelas telah melanggar UU tentang korpsnya sendiri. Ia tidak hanya mengabaikan dan melanggar UU, namun juga mengabaikan etika sebagai seorang perwira tinggi Polri.  

Dalam sebuah berita di CNNIndonesia, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengkritik Polri dan menyebutkan bahwa telah terjadi ketidakpatutan anggota Polri yang telah ikut serta terlalu masuk ke ranah politik.

Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf juga menyoroti keikutsertaan anggota Polri atau TNI aktif dalam Pilkada. Keikutsertaan mereka dikhawatirkan menimbulkan abuse of power atau memobilisasi pengaruhnya untuk memenangkan politik praktis.

"Pemasangan atribut politik dilarang bagi anggota Polri dan TNI pada saat mereka masih beranggotakan aktif. Sejatinya keikutsertaan aparatur keamanan dalam politik telah mencederai era reformasi. Kita tidak ingin era orde baru terulang," katanya.

Saya sepakat dengan Khairul dan Al Araf, undang-undang tentang TNI dan Polri secara tegas melarang anggotanya berpolitik praktis. Sehingga tidak boleh melakukan langkah-langkah politik dalam pilkada dan tingkat pemilihan umum lainnya.

Zigzag dan alibi politik untuk mengakali UU Pilkada tentu tidak boleh dibiarkan dilakukan. Ini jelas mencederai demokrasi dan berdampak pada masa depan reformasi demokrasi itu sendiri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sejatinya adalah alat negara yang berperan dan bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Hal itu menjadi tugas pokok utama setiap anggota Polri mulai dari Bintara sampai Perwira Tinggi dengan bintang melekat di pundaknya.

Karena Polri bertugas demikian, maka negara memberikan keistimewaan kepada mereka unutk tidak terlibat dalam politik praktis di semua lini baik daerah maupun pusat. Anggota Polri diwajiban untuk bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Dalam perspektif  yang sangat nyata dan jelas, Polisi adalah alat negara yang harus memastikan dirinya menjadi pengayom dan menjaga rasa aman masyarakat.

Polisi bukan alat kekuasaan, polisi bukan pula milik dan memihak kepada sekelompok orang (penguasa), golongan maupun partaoi politik tertentu. Polisi diwajibkan dan harus berlaku adil kepada seluruh rakyat dan elemen masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu.

Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa dalam beberapa kali pelaksanaan kontestasi politik, beberapa oknum anggota Polri justru melibatkan diri dan terlibat aktif dalam berbagai peristiwa politik. Keterlibatan itu baik sebagai pihak yang "ikut serta menyukseskan salah satu pasangan kandidat" maupun sebagai kandidat di Pilkada.

Dalam beberapa waktu belakangan ini sudah terlalu banyak masyarakat yang mengingatkan polisi tentang dugaan ketidaknetralan dan dugaan maraknya oknum anggota Polri yang memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu. Tentu kalau ini benar adanya, betul-betul persoalan yang sangat serius yang harus mendapat perhatian extra dari Kapolri.

Saya teringat ucapan tegas Kapolri Jenderal Polisi Irdham Azis yang mengatakan bahwa anggota Polri tidak akan mentolerir tindakan anggotanya yang ikut terlibat dalam politik praktis.

Jenderal Pol Idham Azis secara tegas juga menyebutkan bahwa netralitas para anggota Polri saat Pilkada Serentak 2020 merupakan harga mati. Ketegasan yang kemudian dibuktikan dengan mengirimkan telegram agar pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik ke seluruh jajaran Polri di seluruh wilayah NKRI.

Namun, apakah itu cukup, tentu tidak, Kapolri juga dituntut segera tanggap untuk memutus mata rantai potensi munculnya perilaku-perilaku oknum yang akan merusak kepolisian, serta menindak dan memberi sanksi setimpal kepada pelanggarnya.

Tentu kita ingat bagaimana Kapolri telah memerintahkan dan menginstrusikan kepada segenap jajarannya untuk tidak main-main dengan netralitas polisi dalam Pilkada ini.

Pelanggaran oleh oknum anggota Polri terhadap perintah dan instruksi tersebut adalah suatu tindakan "in sub ordinasi" yaitu perlawanan dan pemberontakan terhadap atasan dalam hubungan dinas. Dalam kasus Fakhrizal di Sumbar, hal ini mungkin bisa dikategorikan seperti itu. Ia mengumpulkan KTP pada saat aktif sebagai anggota Polri dan menjabat Kapolda.

Kita tentu berdoa agar Kapolri dalam melaksanakan tugasnya untuk memastikan netralitas jajaran dan anggotanya dalam Pilkada dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Kesuksesan program ini adalah pertaruhan besar dan mengandung tanggung jawab institusional kepada bangsa, negara dan rakyat Indonesia, yang berdampak bukan hanya sekedar kredibilitas, tetapi "trust" publik terhadap Polri.

Patut dicatat, apabila rakyat sudah mulai ragu, rakyat sudah mulai tidak lagi memberikan kepercayaan secara penuh kepada Polri, kita bisa berhitung dan bisa memprediksi apa yang akan terjadi di Negara ini, sungguh menakutkan?

Menjaga kemurnian demokrasi adalah menjaga suara dan amanah rakyat untuk menentukan nasibnya 5 Tahun kedepan; Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (Pilkada) dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Menjaga Demokrasi Tetap Murni

Kenapa kemurnian demokrasi harus dijaga? Pilkada adalah ajang demokrasi bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Ajang untuk memastikan aspirasi dan harapan rakyat bisa diwujudkan. Ajang bagi rakyat untuk memastikan dan menjaga serta mewujudkan harapan mereka terhadap pemimpinnya untuk menata pemerintahan daerah agar berjalan sesuai nafas dan kehendak rakyatnya.

Dengan demikian, akan lebih bisa dipastikan pemerintahan akan berjalan dalam koridor yang diinginkan rakyat dan setiap kebijakannya berpihak kepada kepentingan rakyat;

Itulah esensi demokrasi yang harus dijunjung tinggi, itulah hakekat dan tujuan demokrasi yang harus diwujudkan. Pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat.

Lantas upaya apa yang harus dilakukan Kapolri untuk menjaga kemurnian demokrasi? Polri memegang peran sangat signifikan untuk menjaga pesta demokrasi bisa berjalan fair, demokratis dan terhindar dari penyalahgunaan wewenang, campur aduk tugas, jabatan dan kepentingan, kecurangan, serta money politics yang nyata-nyata bisa membahayakan demokrasi.

Oleh karena itu, Kapolri harus bisa memastikan institusi Kepolisian netral dan tidak melakukan keberpihakan dalam bentuk apapun terhadap pasangan calon tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung, secara diam-diam atau terang-terangan.

Polri harus jujur, obyektif dan jernih dalam menyikapi, membuat kebijakan maupun tindak-tindakan. Dengarkan suara rakyat, peka terhadap psikologis publik, dan jangan gegabah dalam membuat kebijakan.

Wajar kalau rakyat kemudian menganggap Polisi tidak netral dan diindikasikan untuk membangun design kemenangan untuk paslon tertentu, apabila banyak ditemukan oknum aparatnya yang nyata-nyata mengambil posisi yang tidak netral dan mendukung paslon tertentu.

Kapolri juga dituntut harus berani dan tegas untuk menindak setiap anggotanya yang kedapatan berbuat diluar yang digariskan oleh Kapolri. Tindak tegas dan jangan segan-segan untuk memencat anggotanya yang "in sub ordinasi" dari perintah Kapolri.

Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Polri untuk membuktikan komitmennya dalam mengawal demokrasi. Polri adalah alat negara, bukan alat kekuasaan atau partisan, perorangan dan kelompok.

Bebaskan Kepolisian dari tangan-tangan kotor yang ingin merusak institusi dan demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun