Karena Polri bertugas demikian, maka negara memberikan keistimewaan kepada mereka unutk tidak terlibat dalam politik praktis di semua lini baik daerah maupun pusat. Anggota Polri diwajiban untuk bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Dalam perspektif  yang sangat nyata dan jelas, Polisi adalah alat negara yang harus memastikan dirinya menjadi pengayom dan menjaga rasa aman masyarakat.
Polisi bukan alat kekuasaan, polisi bukan pula milik dan memihak kepada sekelompok orang (penguasa), golongan maupun partaoi politik tertentu. Polisi diwajibkan dan harus berlaku adil kepada seluruh rakyat dan elemen masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu.
Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa dalam beberapa kali pelaksanaan kontestasi politik, beberapa oknum anggota Polri justru melibatkan diri dan terlibat aktif dalam berbagai peristiwa politik. Keterlibatan itu baik sebagai pihak yang "ikut serta menyukseskan salah satu pasangan kandidat" maupun sebagai kandidat di Pilkada.
Dalam beberapa waktu belakangan ini sudah terlalu banyak masyarakat yang mengingatkan polisi tentang dugaan ketidaknetralan dan dugaan maraknya oknum anggota Polri yang memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu. Tentu kalau ini benar adanya, betul-betul persoalan yang sangat serius yang harus mendapat perhatian extra dari Kapolri.
Saya teringat ucapan tegas Kapolri Jenderal Polisi Irdham Azis yang mengatakan bahwa anggota Polri tidak akan mentolerir tindakan anggotanya yang ikut terlibat dalam politik praktis.
Jenderal Pol Idham Azis secara tegas juga menyebutkan bahwa netralitas para anggota Polri saat Pilkada Serentak 2020 merupakan harga mati. Ketegasan yang kemudian dibuktikan dengan mengirimkan telegram agar pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik ke seluruh jajaran Polri di seluruh wilayah NKRI.
Namun, apakah itu cukup, tentu tidak, Kapolri juga dituntut segera tanggap untuk memutus mata rantai potensi munculnya perilaku-perilaku oknum yang akan merusak kepolisian, serta menindak dan memberi sanksi setimpal kepada pelanggarnya.
Tentu kita ingat bagaimana Kapolri telah memerintahkan dan menginstrusikan kepada segenap jajarannya untuk tidak main-main dengan netralitas polisi dalam Pilkada ini.
Pelanggaran oleh oknum anggota Polri terhadap perintah dan instruksi tersebut adalah suatu tindakan "in sub ordinasi" yaitu perlawanan dan pemberontakan terhadap atasan dalam hubungan dinas. Dalam kasus Fakhrizal di Sumbar, hal ini mungkin bisa dikategorikan seperti itu. Ia mengumpulkan KTP pada saat aktif sebagai anggota Polri dan menjabat Kapolda.
Kita tentu berdoa agar Kapolri dalam melaksanakan tugasnya untuk memastikan netralitas jajaran dan anggotanya dalam Pilkada dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Kesuksesan program ini adalah pertaruhan besar dan mengandung tanggung jawab institusional kepada bangsa, negara dan rakyat Indonesia, yang berdampak bukan hanya sekedar kredibilitas, tetapi "trust" publik terhadap Polri.