Mantan Menteri Sosial Idrus Marham meminta hakim memberikan vonis bebas atas dirinya. Ia mengaku tidak bersalah terlibat skandal korupsi suap yang didakwakan kepadanya. Dengan percaya diri (pede) yang tinggi, ia bahkan enggan disamakan dengan dua koleganya di Partai Golkar yang sudah terlebih dulu menjadi pesakitan kasus korupsi, Setya Novanto, dan Eni Maulani Saragih.
Idrus boleh saja pede merasa tak bersalah. Bahkan mengaku bersih sesuci malaikat sekalipun. Padahal kenyataannya, jejak dugaan korupsinya sudah berceceran sejak era Pemerintahan Presiden BJ Habibie. Bisa dikatakan, politikus partai pohon beringin ini, licin bak belut seperti Setnov, sehingga selalu berhasil lolos dari jeratan hukum selama ini.
Meski begitu, sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga. Hal itulah yang menimpa Idrus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya dengan tuduhan terlibat di kasus suap PLTU Riau-1. Dalam kasus tersebut, Idrus diduga berperan mendorong agar proses penandatanganan purchase power agreement (PPA) jual-beli dalam proyek pembangunan PLTU mulut tambang Riau-1.
Berkat jasa tersebut, ia dijanjikan fee sebesar 1,5 juta dolar AS oleh pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Ia merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited yang disebut tergabung dalam konsorsium yang bakal menggarap proyek tersebut.
Kasus ini telah membuat Idrus kehilangan jabatan, baik di Kabinet Kerja maupun di kepengurusan Golkar. Bahkan kini ia tengah dihadapkan dengan sanksi yang lebih berat lagi, yakni mendekam di penjara untuk waktu yang lama, guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Jejak Dugaan Korupsi
Sejak kasus suap PLTU Riau-1 ini mencuat, perlahan satu persatu kasus yang diduga terkait dengan Idrus muncul ke permukaan. Salah satunya berkat pernyataan salah seorang aktivis 98, Andrianto, yang menyebut Idrus semestinya sudah dibui sejak era pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Sebab menurut dia, sejak dulu mantan sekjen Golkar itu telah berulang kali melakukan tindak pidana korupsi. Sudah banyak jejak korupsinya yang berceceran. Hanya saja, selama ini, ia selalu bisa lolos dari jeratan hukum.
Beberap kasus tersebut adalah:
Pertama, pada tahun 2005 Idrus terlibat dalam kasus dugaan manipulasi pajak impor 60 ribu ton beras yang merugikan negara Rp 25,3 miliar. Saat itu, Idrus dilaporkan oleh Lembaga Advokasi Reformasi Indonesia (LARI) ke KPK. Idrus menjadi jasa penghubung antara PT. Hexatama Finindo dengan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) saat ia menjadi anggota komisi III DPR.
LARI juga melaporkan Setya Novanto ke KPK karena diduga terlibat kasus manipulasi pajak impor 60 ribu ton beras yang diimpor dari perusahaan Vietnam Southern Food Corporatin (VSFC).
Menurut LARI, di antara 60 ribu ton beras yang diimpor Inkud dan PT Hexatama Finindo, hanya 32 ribu ton yang dilaporkan ke Departemen Keuangan dan yang dipajaki.
ICW pernah menjelaskan bahwa Setya Novanto adalah pemegang saham mayoritas PT Hexatama Finindo. Perusahaan itu pada 27 Januari 2003 mengikat kerja sama imbal jasa impor beras dengan Inkud yang diwakili Nurdin Halid. Perjanjian dengan nomor 1/SP/HX-INK/03 ditandatangani kedua belah pihak dengan disaksikan anggota Komisi III DPR RI Idrus Marham.
Namun, Idrus yang sudah diperiksa penyidik KPK, bebas dari tuntutan hukum. Begitu pula dengan Novanto, yang juga lolos dari hukuman. Memang, setelah itu Novanto sempat diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 2006. Namun, kasus tersebut meredup tanpa ada langkah hukum lanjutan.
Kasus kedua terjadi pada tahun 2014. Nama Idrus disebut dalam berita acara pemeriksaan (BAP) politikus Golkar, Chairun Nisa yang dibacakan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam BAP itu, Idrus dan Mahyudin, disebut pernah memberikan Rp 2 miliar kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar.
Walaupun Idrus sempat dipanggil sebagai saksi di KPK namun ia kembali bisa melepaskan diri. Meski rekam jejaknya belum selicin Novanto, tapi manuvernya dalam lolos dari jeratan hukum, memang tak bisa dianggap sepele.
Mungkin saja, di kasus ini, kelicinan Idrus bakal berakhir. Sama seperti koleganya, Novanto, yang akhirnya menebus dosa di penjara, setelah sekian lama mengakali hukum dengan kelicikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H