Mohon tunggu...
Humaniora

Guru Gokil di Zaman Gadget

20 Januari 2016   12:39 Diperbarui: 20 Januari 2016   12:39 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

J. Sumardianta | Guru Gokil, Murid Unyu | Bentang Pustaka, Yogyakarta 
Tebal : xiii+ 303 hlm
Order: http://bit.ly/1SvJEMs

 

 

Menjadi pendidik di zaman teknologi sekarang ini memiliki tantangan tersendiri, yakni perkembangan informasi yang cepat dan lebih mudah diakses. Di satu sisi, teknologi akan membantu proses pembelajaran, akan tetapi di sisi lain, jika tidak bisa mengelola proses pembelajaran hanya akan mencipta murid-murid yang tanpa visi. Hal inilah yang menjadi refleksi utuh dari buku “Guru Gokil, Murid Unyu” anggitan J. Sumardianta.

Penulis buku ini, yang akrab disapa Pak Guru, merupakan salah satu pengajar di sebuah sekolah swasta yang getol menulis: esai dan resensi buku. Proses hidup Sumardianta sebagai guru merupakan panggilan jiwa, sebagai cita-cita masa kecil dan harapan untuk merawat anak bangsa. Sumardianta, lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Ketika proses kuliah itulah, yang dilalui dengan minimnya biaya, ia mengisi waktu luangnya untuk membaca dan menulis. Kedua aktifitas inilah, yang kemudian menjadi rel kehidupan bagi dirinya selama lebih dari dua puluh tahuh kemudian.

Melalui buku ini, yang terbagi dalam 6 bab dengan 36 esai, Sumardianta ingin mengajak pembaca, terutama mereka yang berjibaku di dunia pendidikan untuk melakukan renungan. Refleksi ini tentang bagaimana menempatkan murid sebagai manusia seutuhnya, yakni mereka yang perlu diberi ruang ekspresi dan imajinasi. Sumardianta sadar betul bahwa setiap manusia memiliki keunikan, dan inilah yang ia tekankan dalam setiap proses pembelajaran. Dengan memberikan ruang kreatif dan imajinasi, murid tidak akan terjebak pada identitas ‘alay’, yang terseret arus tren dan selebrasi, akan tetapi menjadi murid ‘unyu’: mereka yang memiliki tujuan, karakter dan visi dan hidupnya.

Bagi Sumardianta, murid ‘alay’ hadir karena persinggungan dengan guru ‘lebay’: pribadi yang hanya mementingkan simbol, gaya hidup dan riuh-rendah, tanpa memberi inspirasi. Sedangkan, murid unyu dengan segudang prestasi, lahir berkat sentuhan guru gokil: pribadi yang bersedia meng-upgrade wawasan, inspiratif dan mencerahkan. Maka, Guru Gokil, itulah sebutan Sumardianta dari murid-muridnya.

Guru inspiratif

Mengenai visi pembelajaran, Sumardianta menegaskan bahwa pendidik perlu keluar dari zona nyaman, mencipta strategi kreatif dan memberi solusi inspiratif. “Guru yang memiliki tujuan hidup, tidak sekedar menumpang hidup, mencari nafkah dan mencari kenyamanan. Guru yang berani mengatasi ketakutan, mengambil resiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih. Murid bisa melakukan apa saja yang diajarkan maupun dilakukan gurunya. Namun, murid akan selalu mengingat dan mengenang apa saja yang membuat hati mereka tersentuh. Inilah yang mengubah paradigma saya sebagai guru. Saya punya keyakinan bahwa masalah utama guru itu bukan sekedar kurikulum dan strategi pengajaran, melainkan semangat. Murid tidak akan mengingat materi pembelajaran, tetapi merekam inspirasi yang tersirat dari sang guru” (hal. x).

Dari renungan tentang proses pembelajaran dan dunia pendidikan Indonesia, Sumardianta sampai pada kesimpulan bahwa menjadi guru yang baik itu bisa dilakukan, akan tetapi menjadi guru yang inspiratif itu yang susah dan jarang yang dapat melakukan. Menjadi guru inspiratif, inilah proses panjang Sumardianta dari kepompong hidupnya: sejak zaman kuliah hingga menjadi pendidik selama lebih dari 20 tahun.

Sumardianta yakin bahwa guru inspiratif akan mencipta murid yang visioner dan bermoral. Menurutnya, dalam era cyber society, pendidik yang hebat perlu menempatkan teknologi sebagai sarana bukan tujuan.

“Guru yang gokil harus mengajarkan muridnya untuk terlibat dalam pembicaraan secara langsung. Belajar saling mendengarkan, menghormati, dan memberikan diri dengan tulus. Jika tidak, para murid tersebut akan terjerumus dalam beban yang tak tertanggungkan pada masa depan. Murid alay, anak layangan yang mudah goyah dan labil, merupakan predikat bagi para murid yang kecanduan gadget. Guru gokil adalah guru yang menguasai teknologi informasi sekaligus mendayagunakannya bagi pembentukan karakter murid” (hal. 11). Demikianlah, bagi Sumardianta, guru yang inspiratif itu perlu mengadaptasi perkembangan zaman, tanpa harus tergerus arusnya.

Guru gokil yang inspiratif berarti berusaha memahami sisi terang maupun gelap karakter muridnya. Tugas pendidik itu memasang lentera pada jiwa-jiwa muridnya yang sedang menghadapi masalah. Guru memberi tantangan untuk mendobrak kebekuan hati muridnya. Kecerdasan berarti kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang sudah lama membelenggu hati para pelajar.

Dengan buku, Sumardianta, memberi harapan di tengah carut-marut pendidikan yang hanya mementingkan angka-nilai. Sengkarut ujian nasional menjadi salah satu tema bagi krisis pendidikan nasional. Akan tetapi, krisis pendidikan akan dapat teratasi dengan hadirnya guru-guru inspiratif nan cerdas.

Melalui buku ini, Sumardianta, ingin mengajak pembaca untuk berdialog dengan kisah-kisah getir nan mengesankan yang dapat menjadi inspirasi hidup. Kisah tentang penjaga SD, penjual gorengan, warung angkringan hingga kisah figur Butet Kartaredjasa dan Renald Kasali menjadi referensi yang ditulis dengan bahasa yang enak dibaca [Munawir Aziz/ @MunawirAziz].
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun