Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 5,32% secara year on year. Dibanding kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 adalah minus 4,19%. Meski demikian, masih ada sektor yang tetap tumbuh di tengah kondisi ekonomi yang minus. Yakni, sektor pertanian termasuk kehutanan di dalamnya, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air.
Pandemi covid-19 telah mengajarkan kita semua bahwa pembangunan ekonomi hijau telah menjadi kebutuhan di negeri ini. Sektor-sektor kerakyatan berbasis hutan dan lahan terbukti mampu menjadi benteng perekonomian nasional yang mampu bertahan menopang sektor lainnya.
Laporan FAO-PBB, The State Of The World's Forests 2022, menyebutkan bahwa Kehidupan manusia menghadapi berbagai ancaman global. Ini termasuk pandemi dan kesulitan ekonomi, kerawanan pangan, kemiskinan, perubahan iklim, konflik, degradasi lahan dan air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.Â
Dunia membutuhkan solusi berskala besar yang hemat biaya dan merata serta dapat dilaksanakan dengan cepat, dan hutan dan pohon memiliki potensi yang jelas. Masyarakat dapat memanfaatkan hutan dengan lebih baik dan pohon untuk sekaligus melestarikan alam, lebih baik menyediakan untuk kesejahteraan manusia, dan menghasilkan pendapatan, khususnya bagi masyarakat pedesaan.
Belajar dari pengalaman kontraksi ekonomi Indonesia di saat pandemi dan bagaimana banyak teori lainnya menyebutkan bahwa hutan bisa menjadi media pemulihan ekonomi yang efektif, maka sudah pas jika Presiden menerbitkan intruksi tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem pada Juni 2022 yang didalamnya memuat starategi pemberian akses kelola dan peningkatan kapasitas kelompok usaha perhutanan sosial dan multiusaha kehutanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H