Rasanya seperti mimpi. Saya bisa menjejakkan kaki di lembah Behoa. Sebuah lokasi memukau, tempat dimana situs cagar budaya megalitik Tadulako berada, tepatnya di Desa Bariri, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Di kawasan ini, terdapat lebih dari 15 cagar budaya yang saya jumpai, berupa patung megalitik, batu dakon, kalamba dan altar batu.
Tadulako dalam bahasa daerah Sulawesi Tengah adalah sebutan bagi para panglima perang. Tugas para Tadulako adalah menjaga keamanan negeri/ tanah suku atau desa dari serangan musuh. Merekalah garda terdepan dalam merawat pertahanan atas negeri atau desa tersebut.
Menurut cerita rakyat setempat, Tadulako adalah panglima perang yang tersisa dari sebuah perang suku di zaman sekitar 3.000 tahun sebelum masehi. Inilah kisah panglima perang yang tak pernah terkalahkan dalam berbagai peperangan. Konon kesaktian yang dimilikinya membuat lawan-lawannya tak berkutik dan ia berhasil membebaskan Tanah Lore, negeri Poso dari penaklukan suku-suku lainnya. Namun akhirnya dia dikutuk menjadi batu karena sebuah kesalahan. Sebuah cerita rakyat tentang bagaimana seharusnya pemimpin juga harus memiliki prilaku yang baik.
Sore menjelang rintik hujan kembali hadir. Kami beranjak meninggalkan desa Bariri. Beranjak senja kami sampai di Penginapan Berkat di desa Doda untuk bermalam. Sebuah penginapan sederhana yang sangat direkomendasikan jika anda mengunjungi cagar budaya megalitik. Fasilitas WiFi adalah barang pertama yang saya cari Ketika sampai disini. Untunglah tersedia voucher seharga Rp 15 ribu, cukup waktu selama 6 jam kedepan untuk update pengalaman ini di media sosial.
Malam di desa Doda begitu damai terasa. Penerangan di desa bersumber dari pembangkit listrik  skala mikro ( 1 MW) dan mini ( 10 MW) yang dikelola desa. Sebuah jasa ekosistem dari aliran air taman nasional Lore Lindu yang harus selalu dijaga.
Setelah makan malam kami berencana untuk mengunjungi situs megalitikum Pokokea. Konon dari sana, selain situs budaya kita bisa melihat hamparan langit penuh bintang. Namun apa daya, cuaca hujan rintik mengurunkan niat kami. Langit malam di lembah behoa masih tertutup mendung tipis.
Malam ini kami hanya mengobrol dan mendengar cerita pemandu tentang Lore Lindu. Adalah bang Raimon salah satu masyarakat mitra binaan Taman Nasional Lore Lindu. Dari seorang penambang hutan saat ini menjadi petani kakao dan aktif dalam kegiatan ekowisata. Lalu ada bang Hendry kadoy, masyarakat desa Doda yang mengenalkan kami dengan tutur bahasa Behoa yang sangat baru bagi saya. Ada tiga bahasa daerah utama yang biasa digunakan oleh masyarakat di Cagar Biosfer Lore Lindu, yaitu bahasa Napu, bahasa Bada dan bahasa Behoa, terangnya pada kami.