Secara ekologi mangrove merupakan tempat berpijah aneka biota laut, dan tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis fauna ekosistem payau.
Pada tahun 1998 awalnya masyarakat di kampung Batumbuk diberi lahan garapan oleh pemerintah dengan ukuran 200 x 500 m2. Mulanya tidak banyak yang membuat tambak, namun seiring waktu banyak hutan dibuka untuk tambak.Â
Tanggul tambak dibuat dengan alat berat dan dibuatkan sekat pintu air yang terkoneksi dengan sungai. Dengan memanfaatkan pasang surut dan gravitasi air di tambak dapat dikurangi atau di tambah.
Tambak digunakan untuk budidaya udang, ikan dan kepiting. Pemanenan udang dan ikan dilakukan dengan cara membuka pintu air saat surut, sehingga akan mengikuti arus air ke jaring yang sudah disiapkan di pintu air. Untuk kepiting dipanen dengan menggunakan alat perangkap setiap harinya.
"Dulu saya kerja untuk menjaga tambak. Sekarang saya punya tambak sendiri. Sewa escavator bisa utang dulu pada pemodal di Tanjung Redep. Biaya sewanya Rp 55ribu per meter untuk pengurukan tanggul," cerita salah seorang penjaga tambak, sambil menyebut nama dua orang pengusaha tambak asal Tanjung Redep yang menjadi pemodal.
"Dulu hasil panen bisa mencapai 2 - 3 ton. Saat ini kurang tidak seperti dulu," tuturnya lebih lanjut saat kami diskusi di dalam rumah panggungnya di tepi tambak.
Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Pegat yang terletak dipulau yang berbeda. Gelombang belum terlalu tinggi saat kami berputar melewati laut. Pemandangan hutan mangrove yang di dominasi Avicennia sp dan Sonneratia sp terlihat bagaikan benteng alami dari arah laut.
Satu - dua pohon tampak hampir roboh karena mungkin sudah tua dan terus-terusan menahan gelombang. Pada bagian daratan yang tidak tertutupi mangrove, dapat dilihat gejala abrasi atau pengikisan tanah oleh ombak.