Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencegah Populisme dengan Hutan Sosial

3 April 2018   12:07 Diperbarui: 4 April 2018   09:02 2968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam praktiknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat di tanah air telah lama dikenal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, tumpang sari di Jawa Tengah, tembawang  di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng  di Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan lain sebagainya.

Pergeseran paradigma pengelolaan hutan dari timber extraction pada era kolonialisme, menjadi timber management (Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri), kemudian menjadi social forestry perlahan mulai tampak dan diharapkan akan memicu pertumbuhan regional baru, sehingga kesenjangan ekonomi masyarakat di pedesaan dengan perkotaan jadi berkurang. Tentunya tidak ada yang salah dengan berbagai paradigma pengelolaan hutan di Indonesia karena masing-masing memang dibutuhkan pada zamannya. 

Bagaimanapun sektor kehutanan pernah menjadi penyumbang devisa negara terbesar setelah Migas. Pembukaan terhadap akses-akses yang sulit dijangkau di masa lampau juga menjadi hal yang memungkinkan karena adanya pembukaan kawasan hutan untuk usaha.

Kebijakan Pemerintah yang kembali menitikberatkan pada pemberian fasilitas terhadap rakyat untuk tujuan kemakmuran melalui skema Perhutanan Sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan) tentunya harus mendapat dukungan baik dari pendanaan, maupun dukungan stakeholder lainnya. 

Hal ini menjadi penting karena filosofi negara agraris yang menjamin kepastian akses lahan untuk rakyat diyakinkan melalui program ini. Bukan hanya untuk melawan ketimpangan ekonomi, tetapi juga populisme negatif yang mungkin saja terjadi karena ketimpangan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun