Dalam praktiknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat di tanah air telah lama dikenal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, tumpang sari di Jawa Tengah, tembawang  di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng  di Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan lain sebagainya.
Pergeseran paradigma pengelolaan hutan dari timber extraction pada era kolonialisme, menjadi timber management (Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri), kemudian menjadi social forestry perlahan mulai tampak dan diharapkan akan memicu pertumbuhan regional baru, sehingga kesenjangan ekonomi masyarakat di pedesaan dengan perkotaan jadi berkurang. Tentunya tidak ada yang salah dengan berbagai paradigma pengelolaan hutan di Indonesia karena masing-masing memang dibutuhkan pada zamannya.Â
Bagaimanapun sektor kehutanan pernah menjadi penyumbang devisa negara terbesar setelah Migas. Pembukaan terhadap akses-akses yang sulit dijangkau di masa lampau juga menjadi hal yang memungkinkan karena adanya pembukaan kawasan hutan untuk usaha.
Kebijakan Pemerintah yang kembali menitikberatkan pada pemberian fasilitas terhadap rakyat untuk tujuan kemakmuran melalui skema Perhutanan Sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan) tentunya harus mendapat dukungan baik dari pendanaan, maupun dukungan stakeholder lainnya.Â
Hal ini menjadi penting karena filosofi negara agraris yang menjamin kepastian akses lahan untuk rakyat diyakinkan melalui program ini. Bukan hanya untuk melawan ketimpangan ekonomi, tetapi juga populisme negatif yang mungkin saja terjadi karena ketimpangan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H