Sementara itu, Gini Ratio di daerah perdesaan pada September 2017 tercatat sebesar 0,320, sama jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017, namun naik jika dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,316. Pada September 2017, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,22 persen. Artinya pengeluaran penduduk berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.Â
Jika dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,33 persen yang artinya berada pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,25 persen, yang berarti masuk dalam kategori ketimpangan rendah.
Meskipun ada pihak yang menilai data BPS yang merilis adanya perbaikan ketimpangan Indonesia merupakan penurunan rasio gini yang masih bersifat semu, atau belum menggambarkan perbaikan kesenjangan riil yang sebenarnya. Namun beberapa catatan menunjukkan bahwa berbagai program pemerintah di tingkat tapak terbukti mampu mendongkrak daya beli masyarakat atau meningkatkan pendapatan masyarakat di lapisan bawah, khususnya pedesaan.
Pembangunan ekonomi berbasis pertanian secara luas (pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan) telah terbukti mampu menjadi solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi dan juga mencegah munculnya paham populisme di Indonesia. Contohnya ialah pembangunan masyarakat desa melalui perhutanan sosial.
Luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120,7 juta hektare (63,08% luas daratan Indonesia). Berdasarkan data Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 25.863 desa atau 36,7% dari desa di Indonesia berada disekitar hutan. Selain itu terdapat sekitar 10,2 juta jiwa atau 36,73% dari total penduduk miskin di Indonesia juga terdapat di sekitar kawasan hutan.Â
Saat kita berbicara tentang Perhutanan Sosial, artinya masyarakat desa diberikan legalitas untuk mengakses kawasan hutan negara guna mengembangkan dan memperoleh hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan lain sebagainya.
Pada umumnya masyarakat desa yang mayoritas petani memiliki keragaman mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan memberi pengakuan terhadap masyarakat untuk mengelola hutan negara secara lestari, artinya pemerintah juga meningkatkan berbagai ragam mata pencaharian masyarakat.Â
Pola-pola agroforestri, dimana pohon-pohon berkayu pada kawasan hutan bisa disandingkan atau digilir dengan tanaman pertanian, peternakan (silvopasture) maupun perikanan (silvofisheri), maupun pemungutan hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi dapat dikelola oleh kelompok masyarakat.
Hingga awal tahun 2018 berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan capaian kinerja akses kelola kawasan hutan mencapai 1,5 juta ha yang dikelola oleh lebih dari 300 ribu Kepala Keluarga dengan pemberian SK ijin atau hak kelola sebanyak lebih dari 4.300 unit. Target Perhutanan Sosial tentunya tidak hanya dari sisi luasan tetapi juga kualitas, Â dan yang paling penting ialah betul-betul memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sejak zaman dahulu, sumber daya hutan di Indonesia telah memiliki nilai ekonomi, ekologi, sosial, budaya, dan politik bagi berbagai komunitas. Artinya, SDH telah berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan.Â