Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencegah Populisme dengan Hutan Sosial

3 April 2018   12:07 Diperbarui: 4 April 2018   09:02 2968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah artikel yang tayang di Kompas.com lebih dari setahun yang lalu (15/01/2017) menarik untuk saya ungkap kembali. Artikel tersebut berjudul "Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Dinilai Memicu Populisme". Sejumlah pengamat memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena populisme di Indonesia. 

Kesenjangan sosial memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah dan beralih pada tokoh-tokoh populis. Tokoh populis yang cenderung anti-demokrasi dan anti-pluralisme itu dipercaya membawa ide-ide kemakmuran bagi rakyat. 

Untuk mencegah meluasnya fenomena populisme di masyarakat, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kualitas dinilai mampu mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Pada artikel lain di Kompas.com yang berjudul "Populisme, Kesenjangan, dan Ancaman terhadap Demokrasi" (16/01/2017), Pengamat Intelijen Soeripto J. Said menilai bahwa Indonesia sedang mengalami penyebaran fenomena populisme. Gejala ini muncul karena sumber daya alam dikuasai oleh korporasi. 

Korporasi melakukan pendekatan kepada pusat pengambil keputusan yang terkait dengan kebijakan publik. Sehingga kebijakan publik terkesan mementingkan pihak pemodal dan merugikan kepentingan nasional. Bahkan kebijakan publik itu dianggap penjajahan bentuk baru di bidang ekonomi. Maka berkembanglah rasa kekecewaan publik terhadap pemerintah dan menimbulkan berbagai gerakan protes.

Kesenjangan ekonomi dan sosial tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia dan terus mengalami peningkatan. The World Wealth and Income Database (WID.world) dalam World Inequality Report 2018 menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 peningkatan ketimpangan penghasilan berlangsung dengan kecepatan yang berbeda di berbagai belahan dunia. 

Data ini diukur berdasarkan berapa banyak dari total pendapatan sebuah negara yang dimiliki 10% orang terkaya di negara tersebut. Timur Tengah adalah kawasan yang paling timpang, dimana 10% masyarakat dengan penghasilan teratas memegang lebih dari 60% pendapatan negara secara terus menerus. Selanjutnya diikuti oleh India, Brazil, kawasan Sub Sahara di Afrika, Amerika Serikat dan Kanada, Rusia, kemudian Tiongkok.

Bagi negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan sumber daya alam seperti Migas dan atau hasil bumi lainnya, cenderung lebih rentan terhadap konflik yang dipicu ketidakmerataan ekonomi karena akses terhadap sumber daya tersebut hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman karena bisa  dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik internal maupun eksternal, untuk semakin mempertegas jurang pemisah antara kaum elite dengan rakyat.

Untuk di Indonesia, BPS menggunakan koefisien gini yang didasarkan pada kurva lorenz untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini berkisar antara 0 sampai 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.

Berdasarkan data BPS sejak tahun 2002, ketimpangan tertinggi terjadi pada semester II tahun 2014, yaitu sebesar 0,414. Kemudian terus mengalami tren penurunan hingga 2017. Adapun provinsi yang memiliki koefisien gini tertinggi (diatas rata-rata nasional) pada semester II 2017 ialah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Papua.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Menurut data yang dirilis BPS, pada September 2017 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,394 turun sebesar 0,003 poin. Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2017 tercatat sebesar 0,404, turun dibanding Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,407 dan Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,409. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun