Terlihat sudah pukul setengah lima sore. Burung-burung terlihat diangkasa terbang dari laut kembali ke daratan semenanjung Ujungkulon.
Pukul 5 sore kami kembali ke dermaga Cidaon untuk selanjutnya kembali melaju ke ujung barat daratan pulau Jawa untuk melihat melihat mercusuar dan menikmati sunset dari atas atap kapal. Romantis dan cantik. Langit yang kemerahan membimbing kami kembali ke Peucang.
Bermalam di pulau Peucang merupakan pengalaman yang tidak akan bisa kami lupakan. Suara ombak. Aroma laut. Babi hutan yang liar. Ikan bakar. Sambel mangga. Nyanyian serangga malam. No cellular signal. Semuanya dipadu dengan gelak tawa.
Keesokan paginya, ialah treking melintasi hutan di pulau Peucang. Melewati naungan tajuk pohon merbau, palahlar, bungur, cerlang , ki hujan, Ficus atau ara pencekik, tumbuhan parasit yang melilit pohon lain untuk hidup, dan lain-lain. Sering kali langkah kami terhenti untuk menyaksikan kelompok rusa (Cervus timorensis) yang hidup bebas. Saling tatap kerap terjadi antara kami dan rusa.
Kita bisa menjelajahi hutan, menyelusuri sungai, padang pengembalaan satwa, air terjun dan tempat peneluran penyu, engamatan satwa (banteng, babi hutan, rusa, jejak-jejak badak Jawa dan berbagai macam jenis burung), menyelusuri sungai di ekosistem hutan mangrove. Menyelam, berselancar, dan canoing.
“Tsukaremashita ga, tanoshikatta. Capek sekali... tapi menyenangkan,” itulah yang dikatakan oleh Sakakibara saat kami kembali ke desa Sumur menjelang sore. Lalu kembali ke Bogor melewati tol Serang lalu Jagorawi.
Ekowisata adalah soal rasa, karena rasa adalah segalanya.