Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hutan untuk Kedaulatan Energi

23 Desember 2016   09:49 Diperbarui: 23 Desember 2016   10:46 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by : Khulfi M. Khalwani

Ir. Soekarno (1960) pernah mengatakan bahwa, “gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang”. Ucapan beliau tampaknya terbukti, karena sekarang sumber daya energi memang telah menjadi kebutuhan manusia yang tak terelakkan.

Lalu apa hubungannya hutan dengan kedaulatan energi ? Hutan adalah masa depan suatu bangsa. Selain keanekaragaman hayati, di dalamnya tersimpan sumber daya energi yang menjadi modal dalam kegiatan produksi suatu bangsa, yaitu berupa SDA yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai energi maupun sebagai sumber energi.

Hingga saat ini tampaknya hutan akan kembali menjadi tumpuan, khususnya di Indonesia yang terletak di wilayah tropis. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh bangsa ini.

Zaman dahulu di Eropa, manusia menggunakan bahan bakar kayu untuk membuat api. Ketika desa-desa berkembang, kota-kota kecil terbentuk, pusat – pusat pemukiman tumbuh, kayu bakar pun berubah menjadi komoditas perdagangan. Kebutuhan sumber energi mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga hutan-hutan mulai dieksploitasi secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya kelangkaan kayu bakar di berbagai wilayah (International Energy Agency 2005).

Rasanya terlalu sempit jika kita memandang hutan hanya sebagai sumber kayu bakar. Itu pun mungkin hanya dimanfaatkan oleh masyarakat miskin sekitar hutan yang tidak tersentuh bahan bakar konvensional bersubsidi. Disadari atau tidak, hingga saat ini sumber energi yang berasal dari hutan tidak hanya terbatas pada kayu bakar. 

Kawasan hutan daratan di Indonesia seluas 121 juta ha (± 62% luas daratan Indonesia) memberikan ruang bagi pertambangan batu bara, minyak dan gas bumi melalui izin pinjam pakai khususnya di hutan dengan fungsi produksi.

Kawasan hutan juga memberikan ruang untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, baik di hutan produksi dan hutan lindung melalui izin pinjam pakai, maupun di hutan konservasi melalui Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB).

Selain itu pada kawasan hutan produksi, dapat dibudidayakan tanaman cepat tumbuh yang kayunya bisa menjadi bahan bakar biomassa berupa wood pellet. Baik melalui pengelolaan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) maupun melalui Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).

Penulis yakin, pada masa yang akan datang, wood pellet akan menjadi pesaing utama batu bara yang cadangannya kian menipis. Satu hal lagi yang kadang terabaikan, kelestarian hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) terbukti mampu menjaga keseimbangan siklus air sehingga turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dapat terus berputar.

Energi dan Sumber Energi

Dalam UU 30 tahun 2007, energi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika; sedangkan sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. Sumber energi tersebut ada yang tak-terbarukan (konvensional) dan ada yang terbarukan (non-konvensional).

Jika memperhatikan tren konsumsi energi global sejak tahun 1990, penggunaan bahan bakar fosil berupa minyak bumi, batu bara, dan gas masih mendominasi bahkan diprediksi masih akan terus  meningkat hingga tahun 2035   (BP Energy Outlook 2016).

Sama halnya dengan potret konsumsi energi global, menurut data Kementerian ESDM, kebutuhan energi Indonesia dipasok dari berbagai sumber energi, seperti minyak bumi sebesar ±46 %, gas alam ±18%, batubara ±31% dan energi terbarukan (renewable energy) hanya berkontribusi sebanyak ±5%.

Di masa depan dalam pemenuhan energinya, Indonesia tidak dapat bergantung pada kebijakan energi Business as Usual (BaU) seperti saat ini, mengingat jika diasumsikan tidak ada penemuan teknologi dan cadangan baru maka minyak bumi akan habis dalam 13 tahun, gas bumi 34 tahun dan batubara 72 tahun, untuk itu diperlukan berbagai inovasi dan kebijakan untuk mampu mencukupi kebutuhan energi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi beserta sektor lainnya di masa mendatang (BPPT 2015).

Populasi penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa (negara terpadat ke-4 di dunia) dan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di asia tenggara akan menyebabkan kebutuhan energi (energy demand) akan terus meningkat.  Lalu apakah upaya penyediaan energi sudah dapat mengimbangi kebutuhan energi yang ada pada saat ini atau untuk masa yang akan datang?

Hutan adalah Jawaban

Menurut artikel dalam Kompas 21 Mei 2016 disebutkan bahwa 99 % potensi energi terbarukan di Indonesia terabaikan. Data Kementerian ESDM mencatat potensi bioenergi ialah sebesar 32,6 GW, dan baru digunakan 1,74 GW (5,3%). Panas bumi memiliki potensi hingga 29,5 GW, namun baru termanfaatkan sebesar 1,44 GW (5%). Adapun tenaga hidro memiliki potensi hingga 75 GW, namun baru 5,02 GW (7%) yang dimanfaatkan untuk PLTA, PLTM/H.

Sementara energi surya atau matahari menyimpan potensi hingga 532,6 GWp dan baru dimanfaatkan sebesar 0,08 GWp (0,01 %). Adapun potensi angin dan laut masing-masing sebesar 113,5 GW dan 18 GW. Akan tetapi, potensi tersebut baru termanfaatkan 6,5 MW (0,01 %) dan 0,3 MW (0,002 %)

Dalam Rencana Kerja Pemerintah 2017, Kedaulatan Energi menjadi salah satu Prioritas Nasional dengan salah satu program prioritasnya ialah Peningkatan peranan energi baru dan energi terbarukan (EBT) dalam bauran energi.

Salah satu strategi dalam mendukung program prioritas ini ialah melalui kegiatan prioritas Pembangunan Bio Energi, yaitu menyediakan kawasan hutan produksi sebagai areal hutan tanaman dengan jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber energi biomassa seperti Eucalyptus, Sengon, Gamal, Lamtoro, Nyamplung, Bintangur, Akasia, Rumput Gajah, Kaliandra, Kemiri dll (Renja KLHK 2016).

Berdasarkan data rekalkulasi penutupan lahan Indonesia tahun 2014 (KLHK 2015), dari kawasan hutan daratan Indonesia seluas 121 juta ha, diketahui bahwa 88,1 juta ha masih berhutan dan 32,6 juta ha merupakan lahan tidak berhutan yang sebagian besar berada di hutan dengan fungsi produksi (areal budidaya).

Kegiatan penanaman kembali pada lahan tidak berhutan, khususnya pada hutan produksi dapat diarahkan untuk mengembangkan jenis-jenis kayu cepat tumbuh, fast growing speciesuntuk memasok sumber energi biomass berupa pellet kayu yang saat ini sudah banyak digunakan oleh beberapa negara maju di dunia.

Luas hutan produksi yang telah dibebani hak sampai tahun 2014 adalah seluas 32 juta ha sedangkan luas arahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) mencapai 11,4 juta ha yang terdiri dari 3,2 juta ha untuk Hutan Tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat; 0,5 juta ha untuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan dan 0,3 juta ha untuk IUPHHK Restorasi Ekosistem (Statistik KLHK 2014).

Peluang pembangunan bio energi masih sangat terbuka lebar di Indonesia. Tentunya pembangunan Bio Energi baiknya tidak hanya pada sektor hulu, tetapi juga harus diikuti oleh Pembangunan Industri hilir dan penunjang EBT.

Dalam RKP 2017, sasaran dari Pembangunan Industri Penunjang EBT ialah berupa Paket kebijakan pembangunan industri penunjang EBT oleh Kementerian BUMN. Tentunya jangan sampai ketika minat investasi untuk mengembangkan hutan tanaman energi meningkat, dan upaya penanganan perambahan dan konflik lahan melalui perhutanan sosial tampak kondusif, namun hasil dari hutan tanaman energi yang dibangun tidak bisa diserap untuk pemanfaatan di dalam negeri.

EBT lainnya yang memiliki potensi cukup melimpah di tanah air ialah panas bumi (geothermal). Sebagian besar gunung berapi yang ada di Indonesia terletak di dalam kawasan hutan. Sehingga Konsesi Panas Bumi sebagian besar juga akan berada di dalam kawasan hutan. 

Penyederhanaan Regulasi

Sudah tidak ada alasan lagi untuk berlambat-lambat dalam peningkatan peranan energi baru dan energi terbarukan (EBT) dalam bauran energi di Indonesia. Meskipun demikian prinsip kehati-hatian terhadap lingkungan hidup dan kehutanan tetap harus diutamakan. Syarat dan ketentuan berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 46 tahun 2016, Pemanfaatan Panas Bumi melalui Pembangunan PLTP sudah dapat dilakukan Kawasan Taman Nasional, di Taman Hutan Raya dan di Taman Wisata Alam melalui mekanisme Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB).

Selain itu, melalui PP Nomor 105 tahun 2015 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan PermenLHK Nomor 50 Tahun 2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pembangunan PLTP dapat dilakukan baik di dalam hutan produksi maupun hutan lindung. Tata waktu perizinan telah disederhanakan hanya menjadi 1 tahapan paling lama 30 hari. Kewajiban menyediakan areal kompensasi untuk permohonan IPPKH diubah menjadi kewajiban penanaman rehabilitasi DAS.

Penyederhanaan regulasi juga telah dilakukan untuk tata cara pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi melalui PermenLHK Nomor 51 tahun 2016. Tata waktu disederhanakan menjadi paling lama 12 hari kerja menjadi SK atau penolakan. Izin dikeluarkan setelah persyaratan administrasi dipenuhi termasuk Kerangka Acuan Amdal. Untuk proses tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan sebelum tata batas dan penetapan areal pengganti. Kewajiban tata batas tetap harus dilakukan setelah pelepasan kawasan hutan.

Pengembangan EBT adalah kunci pemerataan pembangunan di Indonesia. EBT dapat menerangi Indonesia sampai daerah pedalaman yang aksesnya sulit dijangkau kabel PLN. Contohnya, Pembangkit Listrik Mini-Mikro Hidro.  Kelestarian fungsi hutan, khususnya hutan lindung dan konservasi, menjamin aliran debit air yang dapat dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Mini-Mikro Hidro.

Haruslah dipahami bersama, bahwa kawasan hutan di Indonesia, memberikan manfaat baik yang memiliki nilai pasar marketable maupun tidak memiliki nilai pasar non marketable, yang semuanya dapat dihitung dan diusahakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Saatnya kelestarian hutan dijadikan prioritas sebagai tonggak utama dari kedaulatan energi. Seperti semboyan sebuah perusahaan asal Singapura yang memasarkan wood pellet dari hutan Indonesia, yaitu “Our future is renewable”.

Khulfi M. Khalwani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun