Kegiatan ini diharapkan bisa menjawab sebagian kerinduan masyarakat, khususnya orang tua dan anak-anak sekolah akan hadirnya kegiatan rekreatif dan edukatif. Sekaligus juga menjadi media dokumentasi permainan tradisional Karo yang mungkin banyak sudah ditinggalkan anak-anak, para orang tua pun tak lagi mengajarkannya kepada anak-anaknya.
Menarik mengamati fenomena cuaca selama empat hari berlangsungnya acara sejak 23-26 Agustus itu. Rintik hujan turun setiap sore, tapi selalu saja saat menjelang atau setelah acara usai dilaksanakan setiap harinya, sehingga turunnya hujan tidak sampai menghambat pelaksanaan acara.
Seorang panitia pelaksana acara berkomentar sambil memandangi rinai rintik hujan. "Sebenarnya rinai rintik hujan justru membuat vibes-nya menjadi lebih asyik. Hujan memanjakan kenangan. Siapa tahu dari sana pun akan lahir inspirasi untuk menulis."
"Ya, hujan memang merinaikan inspirasi," seorang pegiat literasi menimpali. Bola matanya berbinar menatap rinai hujan yang turun tampak bagai tirai yang lembut turun dari langit.
"Odak-Odak Literasi,"Â ayo bertindak, ayo berdampak bagi pembangunan literasi semoga menjadi slogan yang terus merinai dan berirama sepanjang waktu, berkolaborasi bersama mengaktualisasi semangat literasi dalam kombinasi logika dan rasa.
Meskipun hujan pada hari itu bukan hujan bulan Juni, baiklah dikutipkan puisi "Hujan Bulan Juni" yang diciptakan pada 1989 oleh Sapardi Djoko Damono, sastrawan hebat Indonesia itu, sebagai penutup artikel ini.
Â
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu