Sebab, ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum. Namun, dalam hal ini pembentuk undang-undang telah dengan bijak menentukan batasannya yaitu bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak seluruhnya dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan tidak dengan hormat seorang PNS melainkan hanya tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.
Dengan kata lain, pembentuk undang-undang telah secara proporsional mempertimbangkan alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan seorang PNS tidak dengan hormat.
Mahkamah juga memandang bahwa seorang PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau tindak pidana umum, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah hal yang wajar. Sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN.
Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.
Amar putusan mahkamah yang disampaikan pada sidang pleno hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Kamis, 25 April 2019 itu akan turut membawa kita kepada sebuah risalah sidang atas perkara di atas, yang berlangsung pada Selasa, 12 Februari 2019. Agenda persidangan pada saat itu adalah mendengarkan keterangan ahli presiden, Dr. Tri Hayati, S.H., M.H.
Ia menambahkan bahwa salah satu prinsip bagi profesi ASN yaitu adanya komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, serta profesionalitas jabatan. Dari seorang ASN dituntut komitmen dan integritas moral yang begitu tinggi, serta tanggung jawab terhadap pekerjaanya, karena kepada ASN itu telah diberikan kepercayaan penuh.
Tidak sembarang ASN dapat memperoleh kepercayaan dalam jabatan, karena itu dituntut terciptanya pegawai ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.Â
Dengan demikian, menjadi sangatlah berat sanksinya bila seorang ASN yang memiliki jabatan dan tanggung jawab yang demikian besar bila melakukan suatu penyimpangan hukum.
Dr. Tri Hayati memberikan analisis bahwa tujuan dari pengaturan sanksi bagi ASN yang melakukan pelanggaran hukum agar setiap ASN benar-benar dapat menjalankan kredibilitas dan profesionalitas yang diembannya serta menjaga nama baik jabatan yang dipercayakan kepadanya.Â
Menurutnya, pengaturan sanksi tegas berupa pemberhentian tidak dengan hormat ini, justru memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi segenap ASN yang menjalankan tugasnya sesuai dengan regulasi yang ada dan juga menjamin perlakuan dan kesempatan yang sama bagi segenap ASN untuk mematuhi regulasi yang ada. Katanya, inilah aspek keadilan dari pengaturan norma Undang-Undang ASN.
Mengapa sanksi atas tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan menjadi diperberat? Jawabannya, karena jabatan itu adalah amanah dari negara dan ASN yang diberi jabatan tentu adalah ASN yang terpilih, yang terbaik, sehingga ia diberi kepercayaan mengemban jabatan tersebut. Oleh sebab itu, ia harus menjadi teladan dengan menunjukan perilaku dan martabat yang lebih baik dari ASN lainnya.