Upaya untuk melenyapkan bayi "tunda kais" itu dilakukan secara diam-diam dengan berbagai cara sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada dengan cara menghanyutkan bayi ke sungai, dibuang ke hutan agar dimangsa binatang buas, atau menindih bayi dengan mayat ibunya sehingga si bayi mati lemas, dibuat seolah-olah bayi itu ingin menyusu terakhir kali kepada ibunya yang baru meninggal.
Kekhawatiran dan kecemasan akan kemungkinan datangnya kematian atau bencana baru mengalahkan perasaan bersalah dan belas kasihan hingga tega melakukan pembunuhan. Ada keyakinan yang hidup pada masa itu, jika bayi "tunda kais" tidak dibunuh, maka tidak lama lagi ayah si bayi pun akan mati. Â Â
Kepercayaan "tunda kais" ini hidup juga dalam tradisi lisan cerita rakyat Karo. Sebagaimana adanya pada cerita rakyat Karo "Pawang Ternalem."
Pawang Ternalem adalah gambaran anak manusia yang "terbuang" sejak lahirnya. Ibunya meninggal saat ia berusia 3 hari. Selanjutnya, ayahnya pun meninggal saat ia berusia 8 hari.
Pawang Ternalem yang masih bayi dibuang oleh orang-orang kampung ke pintu gerbang desa agar diinjak-injak kerbau, tetapi kerbau enggan menginjaknya. Pawang Ternalem lalu dibuang ke kolong rumah agar dimakan babi, tapi babi justru menyusuinya.
Kemudian, ia dibuang ke hutan belantara agar dimangsa binatang buas, tapi Tuhan Pencipta Semesta Alam justru memelihara kehidupan Pawang Ternalem.
Baca juga:Â Mencegah Legenda Menjadi Solastalgia, Belajar dari "Pawang Ternalem" di Jalan Lintas Karo-Langkat
Kisah Kasih Sepasang Misionaris yang Menyelamatkan Hidup Sangap Tarigan di Buluh Awar
Dina Guittar menikah dengan Pdt. J.K. Wijngaarden pada 10 November 1892. Mereka diberkati di sebuah gereja di Mojowarno, Jawa Timur, oleh Pdt. A. Kruyt, ayah dari Pdt. H.C. Kruyt (misionaris pertama yang datang ke Buluh awar).
Pada tahun 1892 itu juga, Pdt. J.K. Wijngaarden diutus oleh NZG ke Buluh Awar untuk melanjutkan misi penginjilan bagi orang-orang Karo. Ia menggantikan Pdt. H.C. Kruyt.
Dalam pelayanan pendeta dan nora (sebutan untuk istri pendeta GBKP) di Buluh Awar, mereka berhasil melakukan pembaptisan pertama bagi enam orang Karo pada 20 Agustus 1893. Empat orang di antara mereka yang dibaptis merupakan satu keluarga, yakni Sampe Bukit (suami), Ngurupi (istri), Pengarapen Bukit dan Nuan Bukit (anak), serta dua orang bersaudara lainnya yakni Tala dan Tabar Barus.