Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jalan-Jalan ke Masjid Raya 1928, Masjid Tertua di Berastagi

12 Mei 2023   17:24 Diperbarui: 13 Mei 2023   12:51 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian dalam dari Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pernyataan di atas adalah isi dari teks Sumpah Pemuda yang dibacakan pada saat kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat penutupan kongres pemuda itu juga dimainkan musik instrumentalia lagu "Indonesia Raya" ciptaan Wage Rudolf Supratman.

Peristiwa pada tahun 1928 itu menjadi peristiwa bersejarah yang menyatukan segenap anak bangsa dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan dari berbagai daerah di Nusantara. Namun, kali ini kita tidak akan membahas soal peristiwa Sumpah Pemuda itu lebih jauh.

Di belahan lain bumi Nusantara, pada tahun yang sama dengan pelaksanaan kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu, nun di Tanah Karo, tepatnya di kota dingin Berastagi berdiri juga sebuah masjid. Ini merupakan masjid pertama di kota wisata Berastagi.

Peristiwa ini tentu saja merupakan sebuah sejarah yang penting, menyangkut religiusitas sekaligus nasionalitas masyarakat Tanah Karo pada masa itu, khususnya umat Islam di Berastagi. Bagaimana pun, tahun 1928 adalah salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Secara khusus, bagi umat Islam di kota Berastagi pada masa itu, pendirian masjid ini merupakan tonggak penegasan semangat keimanan untuk menegakkan rukun Islam yang menghadirkan rahmat bagi semua. Bagi umat khususnya, dan bagi masyarakat sekitar pada umumnya.

Riwayat Pembangunan Masjid Raya 1928 Berastagi

Dalam sebuah kesempatan pada Jumat (12/5/2023), saya berjalan-jalan ke lokasi masjid ini. Masjid Raya 1928, demikian nama yang terpampang di plank pada gerbang menuju masjid.

Masjid ini berlokasi di Jl. Masjid, Kelurahan Tambak Lau Mulgap I, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Ibarat mutiara yang tersembunyi, masjid ini bak sebuah hidden gem, karena letaknya yang nyaris tersembunyi di pojok pusat pasar Berastagi. Ini adalah sebuah fakta yang unik dan menarik, mengingat masjid tertua di kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo, juga berada di sudut pusat pasar lama Kabanjahe.

Baca juga: Jalan-Jalan ke Masjid Tertua di Tanah Karo, Merawat yang Terlupakan

Fakta ini menegaskan kekhasan kisah penyebaran agama Islam ke Nusantara dari berabad-abad lampau. Setidaknya mencakup empat teori masuknya Islam yang meliputi teori Gujarat, teori Persia, teori China, dan teori Arab, yang kesemuanya erat kaitannya dengan perdagangan.

Lokasi pasar yang dekat dengan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi) 
Lokasi pasar yang dekat dengan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi) 

Saya sempat berbincang-bincang dengan pak Seliadi, nazir masjid ini. Beliau merantau dari kota Stabat, Kabupaten Langkat ke Tanah Karo sejak tahun 1970. Ia sudah menjadi nazir masjid ini sejak tahun 1990 silam, atau selama sekitar 33 tahun.

Saya tidak mendapatkan informasi spesifik mengenai bagaimana persisnya hingga masjid ini berdiri di sekitar lokasi pusat pasar Berastagi ini. Beliau menjelaskan bahwa masjid ini merupakan masjid pertama di Berastagi, dibangun pada tahun 1928 sehingga dinamakan Masjid Raya 1928.

Mengutip penjelasan pada tayangan Kompas TV dari tiga tahun yang lalu, bahwa pembangunan Masjid Raya 1928 Berastagi dilakukan oleh para pedagang muslim yang berasal dari Pulau Jawa saat berdagang di Karo. Hal ini menegaskan alasan mengapa masjid ini berdiri di sekitar pusat pasar Berastagi.


Corak Bangunan Masjid Raya 1928 Berastagi

Melihat corak bangunan masjid ini, tampak ciri khas bangunan tua berlanggam Melayu. Bahan utama terbuat dari kayu dengan cat didominasi warna kuning dan hijau, khas Melayu.

Bangunan utama masjid ini berupa rumah panggung, dengan tinggi tiang fondasi lantai sekitar 1 meter. Kubah pada atapnya berbentuk limas dan berundak, bukan berbentuk kubah sebagaimana umumnya bangunan masjid yang dibangun pada masa sekarang.

Ciri khas motif Melayu pada bagian depan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)
Ciri khas motif Melayu pada bagian depan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)

Bentuk kubah pada atap Masjid Raya 1928 Berastagi tampak dari depan (Dok. Pribadi)
Bentuk kubah pada atap Masjid Raya 1928 Berastagi tampak dari depan (Dok. Pribadi)

Bagian belakang Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)
Bagian belakang Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)

Kata pak Seliadi, bangunan asli masjid ini masih dipertahankan hingga kini. Adapun bagian-bagian yang diperbaiki hanya berupa kerusakan-kerusakan minor akibat sudah lapuk dimakan usia.

Dulunya kata pak Seliadi, ada bangunan teras masjid berbentuk leter L. Namun, karena ruang utama masjid perlu dilebarkan jadi teras masjid itu sudah dirombak, tidak ada lagi. Barangkali ini terkait dengan jumlah umat yang bertambah seiring waktu.

Mimbar Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi) 
Mimbar Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi) 

Bagian dalam dari Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)
Bagian dalam dari Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)

Wasana Kata

Sejarah dan riwayat adalah aspek eksistensialis yang jelas penting dalam kehidupan manusia. Informasi terkait apa, oleh siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana dulu awalnya masjid ini dibangun tentu saja penting diketahui oleh generasi saat ini, agar peninggalan yang mencakup sekaligus nilai religiusitas dan nasionalitas yang berharga pada Masjid Raya 1928 Berastagi ini bisa tetap dijaga dan dilestarikan.


Namun, yang lebih penting lagi untuk dijaga dan dipelihara adalah nilai-nilai persaudaraan, toleransi, dan kerukunan antar umat dengan masyarakat di sekitar masjid yang sangat terjaga hingga saat ini. Itu adalah nilai-nilai utama yang patut untuk tetap dijaga dan dihidupi.

Kata pak Seliadi, biasa kalau pada saat hari-hari besar keagamaan umat Islam, misalnya seperti pada saat hari raya Idul Fitri, antar umat beragama saling menunjukkan silaturahmi dan toleransi. Misalnya bagaimana pabrik tembakau STTC Siantar pernah mengantarkan sumbangan beras ke masjid untuk diberikan ke umat pada saat lebaran. Atau warga masyarakat Berastagi dari etnis Tionghoa yang memberikan sembako untuk dibagikan ke umat menjelang lebaran.

Di halaman depan masjid yang juga menjadi halaman sekolah SD Swasta Al-Washliyah Berastagi ini berdiri tiang bendera dengan bendera merah putih yang berkibar berlatar langit biru berhiaskan awan yang berarak. Setelah puas berbincang-bincang, saya pun pamit ke pak Seliadi. 

Kami berfoto sambil berjabat tangan di teras depan masjid yang tampak meriah dengan anak-anak sekolah yang sedang bermain dan ibu-ibu yang duduk-duduk menanti anaknya pulang sekolah.

Suasana di teras depan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)
Suasana di teras depan Masjid Raya 1928 Berastagi (Dok. Pribadi)

Barangkali karena terbawa suasana terkait nama masjid yang mengandung semangat pergerakan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia ini, kami berjabat tangan sangat erat. Tanpa bicara pun kami sepertinya sama-sama mengaku bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Indonesia.

Suwun, Pak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun