Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Jejak Gereja Pertama dan Jalur "Perlanja Sira" di Buluh Awar

15 Februari 2023   02:43 Diperbarui: 17 Februari 2023   09:35 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang ada dalam benak saat melihat foto ini, ada aroma ikan nila yang hangat di atas bara api, ditemani kopi hitam hangat dalam gelas motif cicak, aiihhhh ...."

Seorang teman, kompasianer dari Nusa Tenggara Timur, mengirimkan komentar. Bagiku, bisa jadi bagi orang lain juga, cerita tentang Buluh Awar mungkin akan selalu dan selamanya terhubung dengan kisah tentang inkulturasi, akulturasi, dan oikumene dalam arti yang luas.

Kendaraan kami melaju cukup kencang di atas jalan aspal hotmix. Jalanan meliuk naik turun di bawah kanopi bentang muka bumi yang termasuk kawasan Taman Nasional Bukit Barisan.

Udara terasa segar dengan suasana alam pegunungan dan perbukitan yang asri, hari hampir pukul delapan pagi. Kami mengejar jadwal ibadah Minggu pagi pada sebuah acara bagi kaum bapa (mamre) Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di desa Buluh Awar.

Pukul delapan lebih lima menit kami tiba di lokasi acara. Desa Buluh Awar yang setiap jengkal tanahnya menyimpan catatan sejarah telah bertransformasi menjadi desa wisata rohani yang asri dan sedap dipandang mata.

Sebuah rumah bergaya inkulturatif Minahasa, simbol hubungan orang Minahasa dan orang Karo dalam sejarah pekabaran Injil di Tanah Karo, serta hamparan kolam ikan di halaman depannya dengan penuh kedamaian menyambut setiap orang yang datang ke sana. Di seberang kolam ikan, setelah meniti jembatan bambu dan melintasi hamparan sawah yang baru ditanami tampak berdiri megah dan anggun sebuah bangunan unik yang terbuat dari bambu.

Rumah bergaya inkulturatif Minahasa di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Rumah bergaya inkulturatif Minahasa di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Bangunan gedung KA/ KR dari bambu di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)  
Bangunan gedung KA/ KR dari bambu di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)  

Bangunan gedung KA/ KR dari bambu di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Bangunan gedung KA/ KR dari bambu di desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Bangunan itu adalah gedung Kebaktian Anak/ Kebaktian Remaja (KA/KR) Majelis Jemaat GBKP Buluh Awar, yakni kategorial anak sekolah minggu dan remaja di GBKP. Berjalan lebih dalam ke arah perkampungan, kita segera akan menjumpai bangunan gereja GBKP Buluh Awar yang merupakan "Titik 0 GBKP" yang kini sudah menjadi "Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar".

Beberapa jemaat lanjut usia tampak duduk-duduk menanti waktu ibadah yang dilaksanakan di bangunan gereja baru yang kini dipakai oleh jemaat. Suasana desa ini akan membawa kita bernostalgia, tentang sejarah GBKP mula-mula dan juga cerita tentang "perlanja sira".

Titik Nol GBKP di Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Titik Nol GBKP di Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Bangunan ketiga gereja Buluh Awar yang kini menjadi Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Bangunan ketiga gereja Buluh Awar yang kini menjadi Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Buluh Awar dan Jejak Sejarah Penginjilan bagi Orang Karo

Buluh Awar adalah sebuah desa yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Jarak kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo ke Buluh Awar sekitar 38 km, dapat dicapai selama 1,5 jam perjalanan. Dari kota Medan jaraknya sekitar 47 km, dapat dicapai selama sekitar 2 jam perjalanan.

Menurut data tahun 2000, luas desa Buluh Awar hanya 2,5 km persegi, dengan jumlah penduduk sebanyak 500 jiwa, dan kepadatan penduduk 200 jiwa/km. Meskipun kecil merupakan tempat yang istimewa di lini masa sejarah GBKP.

Pada 18 April 1890, pendeta Hendrik C. Kruyt dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), sebuah lembaga penginjilan Belanda yang bermarkas di Rotterdam, dan Nikolas Pontoh dari Minahasa, adalah para misionaris pertama yang datang ke Buluh Awar untuk memulai misi pelayanan dan penginjilan bagi orang Karo. Tanggal ini pun ditetapkan sebagai hari berdirinya GBKP.

Gereja pertama bagi orang Karo berdiri di desa Buluh Awar ini. Gereja itu dinamai Karo Kerk atau dapat diterjemahkan sebagai Gereja Karo. Bangunan gereja lama yang saat ini masih berdiri, tapi sudah menjadi museum dan taman baca, itu adalah bangunan ketiga gereja Buluh Awar.

Bangunan ketiga gereja Buluh Awar yang kini menjadi Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Bangunan ketiga gereja Buluh Awar yang kini menjadi Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Sembilan tahun sejak misionaris pertama tiba di Buluh Awar, tepatnya pada tanggal 24 Desember 1899, gereja pertama di Buluhawar ditahbiskan. Pada saat itu baru 25 orang yang menjadi Kristen di desa Buluhawar, pada hari itu juga diadakan kebaktian perayaan Natal dengan bahasa Karo untuk pertama kalinya.

Secara berturut-turut, misionaris NZG yang pernah melayani di Buluh Awar adalah sbb, Pdt. Hendrik C. Kruyt, Pdt. J. K. Wijngaarden, Pdt. M. Joustra, Pdt. H. Guillaume, Pdt. J. H. Neumann, dan Pdt. E. J. Van den Berg. Pendeta misionaris NZG mula-mula dibantu oleh guru-guru Injil dari Minahasa, yakni Benyamin Wenas, Hendrik Pesik, Jonan Pinontoan, dan Richard Tampenawas.

Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Keempat guru Injil yang berhasil direkrut oleh Pdt. Kruyt dan Nicolas Pontoh dari Minahasa ini datang ke Buluh Awar dengan membawa istri masing-masing. Ada kisah yang mengharukan dari para pasangan misionaris ini.

Pdt. H. C. Kruyt beserta rombongan guru Injil dari Minahasa sampai di Medan pada Maret 1891. Lebih kurang 6 bulan kemudian sejak mereka memulai misi pelayanannya, istri guru Injil Richard Tampenawas, bernama Sara Tampenawas dan bayi mereka yang diberi nama Butet Tampenawas meninggal dunia pada 10 September 1891. Keduanya dimakamkan di Buluh Awar, di kawasan "Titik Nol GBKP" itu.

Makam Sara Tampenawas dan Butet Tampenawas (istri dan anak dari guru Injil Richard Tampenawas) di Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Makam Sara Tampenawas dan Butet Tampenawas (istri dan anak dari guru Injil Richard Tampenawas) di Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Ada lagi kisah Pdt. J. K. Wijngaarden yang melanjutkan misi pelayanan Pdt. H. C. Kruyt sejak 21 Desember 1892, setelah Pdt. Kruyt meninggalkan Buluh Awar pada Juli 1892. Pada 8 September 1894 (dua tahun sejak awal pelayanannya) dalam perjalanan dari Buluh Awar ke desa-desa sekitarnya beliau menderita sakit perut dan tidak mampu lagi melanjutkan perjalanannya. Kemudian pada 22 September 1894 beliau meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit Deli Mij di Medan.

Pdt. J. K. Wijngaarden meninggalkan seorang istri, Dina Guittart, dan seorang anak bernama Cornelius Wijngaarden yang berusia 6 bulan 14 hari. Kantor pusat NZG menugaskan Dina Guittart melanjutkan pelayanan suaminya hingga Pdt. M. Joustra tiba di Buluh Awar menggantikannya.

Baca juga: Pengorbanan di Buluh Awar dan Kisah Winnie the Pooh, Renungan Menyambut Paskah    

Pelayanan para misionaris di Buluh Awar sejak awal dilakukan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat setempat, menyentuh pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi warga Buluh Awar dan desa-desa sekitarnya. Bekas jejak pelayanan itu sebagian masih bisa dilihat, dirasakan, bertahan, bertumbuh, dan berkembang hingga saat ini, meskipun sebagian lagi ada juga yang sudah hilang.

Meringkas catatan sejarah pelayanan selanjutnya, tanpa mengecilkan arti sejarah yang dapat dibaca lebih lengkap pada berbagai literatur dan dokumentasi tentang sejarah GBKP dan Buluh Awar secara khusus. Pada tahun 1903, misionaris selanjutnya bernama Pdt. E. J. van den Berg tiba di Buluhawar.

Van den Berg meneruskan pelayanan pendeta Guillame yang habis kontraknya dengan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Pada 10 April  1905, Pdt. E. J. van den Berg menetap di Kabanjahe karena pos penginjilan sudah didirikan di Kabanjahe.

Baca juga: Sekelumit Cerita Lau Simomo, Kampung Bersejarah dalam Pelayanan Kesehatan bagi Orang-orang Terkucilkan

Baca juga: Mengagumi Bangunan Kaya Makna, Gereja GBKP Lau Simomo Menjelang Seabad Usianya

Dalam catatan pribadi Pt. Em. Mengkat Barus, pada 16 April 1986, dalam perayaan pengumpulan dana pembangunan gedung gereja GBKP Buluh Awar di desa Tiang Layar,  Kecamatan Sibolangit, di mana beliau ikut menjadi panitianya, beliau menciptakan sebuah lagu berjudul "Buluh Awar." Ada satu lagu lagi berjudul "Buluh Awar" diciptakan oleh Pdt. Soerya Ketaren, yang dirilis pada Januari 2020. Saat tulisan ini dibuat, jemaat GBKP di Buluh Awar dilayani oleh Pdt. Wilson Tarigan.


Jejak Jalur "Perlanja Sira" di Buluh Awar

Mengutip sebuah catatan sejarah suku Karo menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dari buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" beliau mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun yang dia dengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.

Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Myanmar. Menurut cerita itu, pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti, dan berwibawa tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya yang terletak sangat jauh di seberang lautan.

Kerajaan itu mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa, dan disegani semua orang, bernama Karo. Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Raja mengajak putrinya yang bernama Miansari untuk ikut serta dalam perjalanan itu.

Miansari jatuh cinta kepada panglima perang kerajaan itu. Miansari satu kelompok perjalanan dengan sang panglima perang, mereka berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.

Mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan, dan hidup di sana dari hasil berburu.

Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat sebuah pulau yang lebih luas dan lebih hijau dari tempat mereka saat itu. Ia pun berniat menyeberang ke sana.

Dalam perjalanan mereka di tengah laut, mereka dilanda angin ribut dan ombak yang sangat besar sehingga rombongan tercerai-berai. Tanpa dinyana, rombongan Miansari dan panglima perang itu terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal, mereka terpisah dari rombongan maharaja.

Panglima perang dan Miansari pun sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka membawa serta dua orang dayang-dayang, dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.

Mereka tiba di sebuah tempat dan tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman.

Mereka mencapai sebuah pulau yang bernama Perca (Sumatra) di sebuah tempat yang sekarang bernama Belawan. Dari sana mereka melanjutkan perjalanan menyusuri aliran sungai menuju pedalaman, hingga tiba di sebuah tempat yang sekarang disebut Durin Tani (saat ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sibolangit).

Mereka kembali melanjutkan perjalanan mencari tempat tinggal yang dirasa lebih aman. Menyusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju pegunungan, di tengah hutan belantara mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluh Awar, Bukum, hingga tiba di suatu tempat di kaki gunung yang bernama Sikeben, sebuah desa yang saat ini dekat dengan Bandarbaru (saat ini juga termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sibolangit).

Panglima perang sebuah kerajaan dari India Selatan yang bernama Karo ini merasa bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat mereka tinggal saat itu. Mereka kembali berjalan menyusuri hutan hingga akhirnya tiba di kaki sebuah gunung yang diberi nama Deleng Barus. Itu adalah sebuah gunung di dataran tinggi Karo yang saat ini termasuk ke dalam Kecamatan Barusjahe. 

Deleng Barus di Kecamatan Barusjahe, Kab. Karo (Dok. Pribadi)
Deleng Barus di Kecamatan Barusjahe, Kab. Karo (Dok. Pribadi)

Kisah perjalanan panglima perang ini belum berakhir hingga mereka sampai di sebuah desa yang kini bernama Mulawari. Desa Mulawari saat ini adalah sebuah desa yang terletak dekat dengan desa si Capah pada masa dulu yang saat ini bernama Seberaya termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.

Dalam versi kisah ini, Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan Karo (nenek moyang orang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak.

Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yakni Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, dan Jile. Hingga lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus silsilah keluarga.

Dari Meherga (Merga) akhirnya lahir nenek moyang orang Karo berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga kawin dengan Cimata, anak perempuan Tarlon yang merupakan pamannya. Tarlon adalah saudara bungsu dari Miansari, ibu Merga. Dari Merga dan Cimata lahir lima orang anak laki-laki yang secara berturut-turut namanya kemudian menjadi lima induk marga etnis Karo, yakni Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Peranginangin, dan Tarigan.

Jalur perlanja sira ini juga muncul dalam buku "Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I" tulisan Brahma Putro. Pada masa itu ada upaya penaklukan kerajaan Haru Wampu di Kutabuluh oleh kerajaan Majapahit yang berlangsung selama 6 tahun (1340-1346) melalui operasi Pamalayu, tapi gagal.

Disebutkan pada buku tersebut bahwa laskar kerajaan Majapahit yang langsung dipimpin Patih Gajah Mada datang dari laut (kemungkinan pantai Timur Sumatera/ Belawan) mengikuti aliran sungai Seruai sampai ke hulunya di desa Tongkeh, di kaki gunung Barus sekarang ini. Jurusan lainnya mengikuti sungai ular/ sungai buaya terus ke hulunya menuju gunung Barus.

Satu jurusan lagi adalah jalur yang mengikuti aliran sungai Petani yang juga bermuara di kaki gunung Barus. Ini adalah jalur-jalur yang juga dikisahkan sebagai jalur "perlanja sira" dalam dokumentasi sejarah penginjilan oleh misionaris NZG.

Masih dari buku yang sama, dijelaskan bahwa menurut Dr. Masri Singarimbun, seorang antropolog yang juga suku Karo, sekitar abad ke-16 Masehi terjadi erupsi gunung Sibayak yang cukup dahsyat. Akibat dari erupsi itu jatuh korban jiwa yang banyak dan kerusakan perkampungan, rumah-rumah, dan harta benda tertimbun material vulkanik.

Beberapa tahun sesudah peristiwa erupsi Gunung Sibayak itu barulah penduduk di dataran tinggi Karo dari urung Sukapiring, urung VII kuta (Barusjahe), urung VI kuta (Sukanalu), urung XII kuta, urung III kuru, dan urung Teran pindah ke dataran rendah yang disebut Karo Jahe. Urung adalah kesatuan wilayah pemerintahan Karo pada masa dulu yang terdiri atas beberapa kampung atau disebut kuta dalam bahasa Karo.

Penduduk-penduduk yang pindah itu umumnya adalah kaum pedagang garam yang dinamai "perlanja sira." Hipotesa ini dibuktikan oleh riwayat berdirinya kampung-kampung Karo di sekitar kecamatan Sibolangit yang masih ada sampai saat ini, antara lain Martelu, Sikeben, Cingkam, Ketangkuhen, dan Buluh Awar.

Benang merah antara cerita rakyat perjalanan nenek moyang orang Karo dalam kisah perjalanan Karo dan Miansari, setidaknya dari pelabuhan Belawan-Medan hingga kaki gunung Deleng Barus-di dataran tinggi Karo menurut tutur lisan dari kakek Kol. (Purn) Sempa Sitepu itu, dengan rute kedatangan laskar Majapahit menuju kerajaan Haru Wampu di Kutabuluh melalui pintu masuk di kaki Deleng Barus, identik dengan apa yang disebut sebagai jalur "perlanja sira" yang juga muncul dalam kisah pekabaran Injil bagi orang Karo pada abad yang lebih modern kemudian, pada tahun 1890.

Itu adalah catatan sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda ke dataran tinggi Karo. Pada masa itu sudah ada sekelompok kecil pedagang yang membawa garam dari dataran rendah (Sumatera Timur dan sekitarnya) ke dataran tinggi Karo yang dikenal sebagai "perlanja sira." Bila diterjemahkan, "perlanja sira" berarti pemikul garam, sebab begitulah pada masa itu mereka membawa garam dan hasil-hasil bumi lainnya untuk diperdagangkan secara barter, dipikul.

Menurut penelitian De Haan pada tahun 1870, selain garam, perlanja sira juga biasa membawa ikan kering, linen, perhiasan, tembikar, periuk, senapan, bumbu, timah, kapur, dsb dari dataran rendah. Sedangkan dari dataran tinggi mereka membawa kapas, pinang, kelapa, sirih, gambir, gula merah, tembakau, dan hasil bumi lainnya dari alam pegunungan sebagai alat tukar.

Menurut Anderson sebagaimana dikutip oleh L. Peranginangin, perjalanan antara dataran tinggi Karo ke dataran rendah pada masa itu membutuhkan waktu 6 hari. Medan yang ditempuh berupa jalan yang curam dan terjal serta kondisi alam yang ekstrem. Oleh sebab itu, pada masa sebelum jalan Kabanjahe - Medan yang sekarang dibuka dan dapat dilalui kendaraan, segala lalu-lintas barang dan kegiatan perekonomian di dataran tinggi Karo sangat bergantung kepada perlanja sira.

Gambaran tentang desa Buluh Awar dalam jejak sejarah menyangkut jalur lintasan perlanja sira pada masa yang jauh sebelum adanya jalan raya dan beroperasinya moda transportasi modern menjadi sebuah alasan yang sangat logis mengapa Pdt. H. C. Kruyt memilih lokasi pos penginjilan pertamanya di Buluh Awar. Di sana terjadi pertemuan banyak orang dengan berbagai kepentingan, di sana terjadi perdagangan, pertukaran barang dan jasa.

Di mana orang banyak bertemu, apalagi dari berbagai penjuru dengan beragam kepentingan, maka sebuah kabar berita menjadi lebih cepat tersebar menjadi cerita yang bisa menjangkau banyak orang. Apalagi tempat yang lebih mendekati gambaran itu selain pasar, sebuah jalur perdagangan?

Pada Minggu, 12 Februari 2023 yang lalu kami bersama rombongan kaum bapa (mamre) GBKP Ketaren sempat menapaki secuil ruas jalur perlanja sira yang melintasi desa Buluh Awar yang bersejarah itu. Sempat berhenti di sebuah makam tua yang diyakini oleh warga desa sebagai makam salah seorang perlanja sira.

Napak tilas pada seruas rute perlanja sira di Desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Napak tilas pada seruas rute perlanja sira di Desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Rute napak tilas jalur perlanja sira yang curam di Desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)
Rute napak tilas jalur perlanja sira yang curam di Desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Berhenti di sebuah makam tua yang diyakini oleh warga Buluh Awar sebagai makam seorang Perlanja Sira (Dok. Pribadi)
Berhenti di sebuah makam tua yang diyakini oleh warga Buluh Awar sebagai makam seorang Perlanja Sira (Dok. Pribadi)

Ketika aku bertanya "Dari mana sampai ke mana rute yang disebut sebagai jalur perlanja sira dari masa silam itu?" kepada pak Tarigan, ia hanya menjawab "dari Belawan hingga desa Tanjung Barus di kaki gunung Deleng Barus." Pak Tarigan yang sudah cukup lanjut usia itu adalah warga desa Buluh Awar yang juga jemaat GBKP, dia menjadi pemandu jalan kami pada hari itu.

 


 

Rujukan:

Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Forum Komunikasi Masyarakat Karo (FKMK) SU, 1993

Martin L. Peranginangin, Orang Karo di Antara Orang Batak, Jakarta: Pustaka Sora Mido, 2004

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I, Medan: Ulih Saber, 1995

Bunga Rampai Penganugerahan dan Apresiasi Komponis Kitab Ende-Enden GBKP, Kabanjahe: Moderamen Gereja Batak Karo Protestan, 2019 (Untuk Kalangan Sendiri, Tidak Dipublikasikan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun