Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kopi Memberi Rasa, Literasi Memberi Makna

15 Desember 2022   18:42 Diperbarui: 15 Desember 2022   18:55 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemenang lomba menulis bertema "Literasi Kopi" dari kategori umum dan pelajar (Dok. Pribadi)

"Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan." - Filosofi Kopi (film, 2015)

Sehubungan dengan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Karo mengadakan kegiatan bertajuk "Literasi Kopi", meliputi kegiatan lomba menulis kreatif bertema literasi kopi, pelatihan menulis, dan bincang literasi kopi pada tanggal 23-24 November 2022.

Narasumber kegiatan ini merupakan para pemerhati kopi Karo. Di antaranya Wilson Raja Ulu Sembiring yang juga merupakan pengusaha cafe Pe 88 Tavern Peceren, Berastagi dan Aron Agi Timanta Ginting, seorang spesialis media sosial yang juga pendiri dan pemilik Ornetta Coffe.

Narasumber lainnya merupakan para pegiat literasi. Di antaranya Ismail Pong, Ahmad Azhari, Eka Dalanta Rehulina Tarigan, Teopilus Suranta Tarigan , dan Atmaja Pehulisa Sembiring.

Saat acara Bincang "Literasi Kopi" pada 24 November 2022 yang lalu, para narasumber bersepakat bahwa kopi dan literasi sudah berjodoh sejak lama. Bang Ahmad Azhari mengatakan kalau literasi kopi adalah salah satu bentuk "the real" inklusi literasi.

Bang Aron juga menyebut kopi sebagai pembuka literasi. Konsep itu diterapkannya melalui Ornetta Coffe, di mana ia tidak sekadar menjual kopi, tapi menjadikan kopi sebagai media sosialisasi untuk bisa "menjual" literasi.

Bersama pemerhati kopi Karo (Dok. Pribadi)
Bersama pemerhati kopi Karo (Dok. Pribadi)

Ironi dan Kontradiksi?

Namun, sekilas tersirat juga kesan ironi dan kontradiksi dalam hubungan kopi dan literasi. Budaya "ngopi" yang semakin menjadi tren gaya hidup masa kini tampak kontras dengan semangat dan tingkat literasi bangsa kita yang masih rendah.

Di saat cafe dan tren "ngopi" semakin digandrungi oleh berbagai kalangan dan kelompok umur, termasuk para remaja dan kawula muda di Indonesia kini, ternyata peringkat literasi Indonesia secara internasional cenderung jalan di tempat. Dalam 10--15 tahun terakhir, Indonesia berada di papan bawah.

Menurut data dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2019, tingkat literasi Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Sementara itu menurut data tahun 2021, nilai kompetensi membaca Indonesia berada pada peringkat 72 dari 77 negara, nilai matematika berada di peringkat 72 dari 78 negara, sedangkan nilai sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.

PISA merupakan metode penilaian internasional sebagai indikator untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat global. Data PISA ini sejalan dengan data dari UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.

Selain itu, ada lagi hasil riset dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 yang dipublikasikan dengan tajuk World's Most Literate Nations Ranked. Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia soal minat membaca.

Apa Relevansi Isu Soal Kopi dengan Isu Soal Literasi?

Bang Aron menceritakan bahwa ia mampu menjual 100 kg kopi bean dalam 3 bulan dari rumah saja tanpa harus memiliki cafe. Ia juga mendampingi upaya pelestarian hutan melalui budi daya kopi oleh masyarakat desa Doulu, Kec. Berastagi, Kab. Karo.

Sejalan dengan itu, bang Ismail memandang kopi berperan strategis untuk memproteksi hutan, tapi tetap menghasilkan secara ekonomi. Pertanian kopi bisa menjadi model "social enterprise", perusahaan sosial, di mana saham terbesar dimiliki oleh para petani.

Wilson Raja Ulu Sembiring yang akrab disapa bang Willie mengatakan bahwa agar cafe bisa berkesinambungan mendukung gerakan literasi maka perlu dikurangi colokan smartphone di cafe. Itu agar para pengunjung lebih banyak berinteraksi dari pada sibuk sendiri dengan gadget katanya.

Sementara itu, pak Ginting salah seorang peserta bincang-bincang yang juga pegiat kopi dan literasi dari desa Doulu mengatakan bahwa dorongan agar petani lebih produktif membudidayakan kopi organik menemukan tantangan. Komoditas organik membuat petani kalah "berjudi" di pemasaran.

Dalam pemasaran kopi, sebagaimana halnya pada komoditas yang lain, semakin panjang rantai pemasaran maka biaya produksi yang ditanggung masyarakat akan semakin besar. Menghadapi kendala itu, petani dituntut semakin mampu berkolaborasi, bekerja sama melalui koperasi.

Koperasi juga akan membantu petani untuk lebih mampu memenuhi kebutuhan pasar yang besar. Di lain pihak, kompetisi pada pasar bebas bisa menyebabkan petani kopi tidak mendapatkan keuntungan yang sebanding jika mereka "main" sendiri.

Pihak yang diuntungkan dalam pasar bebas dan masyarakat dengan euforia kopi taklain adalah para penjual mesin roasting-an kopi dan para penjual plastik kemasan kopi yang disuguhkan di tengah menjamurnya pertumbuhan cafe.

Di tengah keprihatinan terhadap situasi seperti itulah lahir konsep fair trade (perdagangan adil) dan direct trade (perdagangan langsung), sebagai bentuk perlawanan terhadap perdangan bebas. Kedua konsep ini sama-sama memiliki perhatian terhadap kesinambungan kesejahteraan petani kopi dan kelestarian lingkungan.

Pelaksanaan event Literasi Kopi yang melibatkan pelajar dan mahasiswa sangat strategis menjadikan pelajar dan mahasiswa menjadi duta kopi Karo. Pada saat yang sama, tren kopi dan cafe juga menjadikan peran kopi sangat strategis sebagai jembatan penguatan literasi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Literasi yang semakin kuat membuat masyarakat semakin cakap dan semakin solutif dalam menghadapi berbagai persoalan.

Para pemenang lomba menulis bertema
Para pemenang lomba menulis bertema "Literasi Kopi" dari kategori umum dan pelajar (Dok. Pribadi)

Bang Aron Ginting menyampaikan problematika pada remaja dan kawula muda yang sangat aktual untuk dijawab dengan semangat berliterasi. Problema akibat gaya hidup yang terbangun dalam dunia saat ini penuh dengan semangat berkompetisi.

Semangat berliterasi kita perlu diarahkan untuk terbangunnya gaya hidup berkolaborasi di kalangan remaja dan kawula muda. Hal ini sejalan dengan pendapat bang Ismail yang menganjurkan agar kita membangun literasi sebagaimana dalam filosofi kopi, agar anak muda benar-benar mampu menjadi generasi emas. Literasi pada akhirnya mampu membentuk masyarakat yang kritis dan dapat membantu mempersiapkan seseorang hidup dalam masyarakat berpengetahuan.

 

Cerita tentang Kopi Karo

Cerita tentang Kopi Karo juga akan membawa kita kepada isu lingkungan yang aktual dan relevan dengan kopi sebagai komoditas. Di dalamnya terkandung kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan kopi secara umum dan kopi Karo khususnya, kini dan nanti.

Pak Ramlan Milala seorang pengusaha kopi yang lebih dikenal dengan Pak RM yang juga merupakan label produknya menyampaian sebuah sudut pandang yang menarik. "Kopi kita enak. Mari kita nikmati sendiri keenakannya itu, kalau ada sisanya baru kita jual ke luar negeri," katanya.

Bersama Pak Ramlan Milala, pemilik brand kopi Pak RM (Dok. Pribadi)
Bersama Pak Ramlan Milala, pemilik brand kopi Pak RM (Dok. Pribadi)

Di lain pihak, ibu Magda br Ginting dan pak Masri Bangun dari Asosiasi Kopi Indonesia (ASKI) Kab. Karo membeberkan bahwa kopi Karo sudah mengikuti berbagai ajang pameran kopi. Kopi Karo juga sudah dibukukan, deskripsi tentang kopi Karo itu disusun selama sekitar dua tahun.

Di sana dijelaskan bahwa identitas Kopi Karo sudah terverifikasi, tercantum juga Indikasi Geografis (IG). IG adalah semacam hak paten berdasarkan daerah asal, mencakup faktor alam dan faktor manusia, yang mempengaruhi karakteristik, reputasi, dan kualitas komoditas. Kopi Karo terverifikasi sebagai kopi dengan nilai excellent (bagus sekali).

Contoh produk kopi Karo (Dok. Pribadi)
Contoh produk kopi Karo (Dok. Pribadi)

Hutasoit, salah seorang peserta bincang Literasi Kopi yang juga mengasuh gerakan literasi melalui rumah belajar di lima desa menyampaikan gagasan bahwa petani kopi perlu lebih fokus pada tahap budidaya dan pasca panen kopi. Perlu juga ditumbuhkan kesadaran akan prinsip Kaizen di kalangan petani, suatu sikap yang selalu mau belajar untuk memperbaiki diri.

Kemampuan berliterasi akan semakin memampukan kita untuk menjadikan tantangan sebagai cambuk, berkaca dari masa lalu untuk semakin memperbaiki diri.

Wasana Kata

Dari keseluruhan gagasan yang disampaikan oleh para narasumber, wawasan yang bertambah tentang kopi dan literasi, serta opini dan jawaban atas pertanyaan dari para peserta, dapat diperoleh gambaran bahwa antara kopi dan literasi memang sudah berjodoh sejak lama.

Kopi bisa menjadi titik pertemuan (meeting point) antara literasi dengan berbagai banyak hal. Kopi mempertemukan literasi dengan perpustakaan, literasi dengan pariwisata, literasi dengan isu finansial, dan dengan berbagai hal lainnya terkait literasi.

Peran kopi sebagai titik pertemuan atau jembatan literasi dengan berbagai hal tergambar dalam makna yang sebenarnya ketika kopi berguna, baik dalam bentuk biji, bubuk, maupun kulitnya.

Bersama panitia, para narasumber, dan peserta Bincang Literasi Kopi, 24/11/2022 (Dok. Pribadi)
Bersama panitia, para narasumber, dan peserta Bincang Literasi Kopi, 24/11/2022 (Dok. Pribadi)

Mengutip ungkapan Sartre terkait eksistensi manusia yang mendahului dirinya, tentang eksistensi mendahului esensi. Menurutnya tidak ada gunanya mencari makna dari kehidupan pada umumnya, tapi manusialah yang bertanggung jawab untuk membuat makna atas hidupnya sendiri. Kitalah yang harus memutuskan sendiri bagaimana cara kita hidup.

Ketika kita memberikan makna dalam segala sesuatu yang kita lakukan, atau pilihan-pilihan yang kita putuskan, kita akan menyingkirkan segala hal yang kita anggap tidak relevan dengan kebutuhan atau kepentingan kita sendiri. Maka tidaklah mengherankan, saat mengendari mobil Jeep seolah kita merasa di kota ini sedang banyak kendaraan Jeep saat ini.

Itu bukan karena sebelumnya di kota ini tidak ada mobil Jeep, tapi kita yang memandang kota ini dari kepentingan seorang pemilik mobil Jeep. Apa yang akan terjadi bila kita memandang kota ini dari kepentingan literasi dan kopi?

Baca juga: Antara Menjamurnya Kafe dan (Latihan) Filsafat Sartre

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun